https://www.elaeis.co

Berita / Serba-Serbi /

110 Tahun Industrialisasi Sawit, Pengusaha Untung Buruh Buntung

110 Tahun Industrialisasi Sawit, Pengusaha Untung Buruh Buntung

Herwin Nasution SH, Ketua Umum F-Serbundo. (dokumentasi pribadi)


Medan, Elaeis.co - Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo) mengkritik keras dan mengajukan keberatan terkait formula perhitungan upah yang ditetapkan pemerintah dengan menggunakan Peraturan Pemerintah RI Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. 

"Kami keberatan karena peraturan tersebut tidak mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan buruh di sektor perkebunan kelapa sawit," kata Herwin Nasution SH, Ketua Umum F-Serbundo, kepada Elaeis.co, Minggu (21/11/2021) siang.

Aktivis buruh yang akrab disapa Mas Don ini menilai kebijakan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36/2021 tentang Pengupahan sebagai acuan dasar menetapkan upah minimum tahun 2022 di tingkat provinsi dan kabupaten sangat merugikan kaum buruh, khususnya buruh di perkebunan kelapa sawit. 

Sebab, PP itu telah menghapuskan ketentuan Upah Minimum Sektoral Provinsi dan Kabupaten/Kota (UMSP dan UMSK). Selain itu pihaknya melihat PP tersebut tidak melindungi kaum buruh dalam mendapatkan kebutuhan hidup layak. 

"Perhitungan upah minimum yang menggunakan formula PP itu justru mengurangi kemampuan buruh untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya secara layak," kata Mas Don.

Mmenurutnya, para buruh perkebunan kelapa sawit umumnya berada di daerah yang terisolir dan tidak memperoleh fasilitas pendidikan, kesehatan dan transportasi yang memadai. Selain itu mereka jauh dari kota dan pusat perbelajaan sehingga membutuhkan dana yang lebih besar untuk memperoleh kebutuhan hidupnya. 

"Sistem kerja buruh perkebunan sawit sangat berbeda dengan buruh manufaktur. Buruh perkebunan kelapa sawit bekerja mengandalkan fisik untuk memenuhi target kerja, luasan area kerja dan jam kerja, sehingga buruh perkebunan sawit membutuhkan kalori yang lebih besar dalam melakukan pekerjaannya," jelasnya. 

Mas Don mengaku heran dengan kebijakan pengupahan yang diterima buruh sawit. Padahal sudah terbukti kalau selama ini buruh perkebunan sawit telah memberikan devisa negara yang cukup besar. 

"Pada masa pandemi Covid-19, buruh perkebunan sawit mampu memberikan devisi negara tahun 2020 sebesar US$ 25,60 miliar, terbesar yang pernah dihasilkan industri sawit nasional dalam 20 tahun terakhir. Tapi yang diberikan negara kepada buruh justru sangat merugikan," tandasnya.

Federasi Serbundo melihat penetapan upah berdasarkan PP Nomor 36/2021 itu justru menunjukan Indonesia tidak mampu memberikan regulasi yang mampu melindungi hak-hak buruh perkebunan sawit.

"Padahal keberadaan industri perkebunan sawit nasional disebut-sebut telah berusia 110 tahun. Tapi aneh, sampai saat ini justru tidak ada regulasi yang melindungi hak-hak buruh perkebunan kelapa sawit," kata Mas Don. 

Kata dia, sudah selayaknya pemerintah Indonesia membuat regulasi yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan sistem pengupahan buruh perkebunan kelapa sawit. 

Federasi Serbundo juga menyoroti sikap ribuan perusahaan sawit di Indonesia banyak melakukan kegiatan charity, memberikan sumbangan ke mana-mana dan dilihat publik luas.

"Namun ironisnya, di saat yang sama buruh yang bekerja di perusahaan perkebunan sawit malah tidak memperoleh kenaikan upah yang layak," kata Mas Don. 

Ia mendesak agar perusahaan sawit, buyer, dan perbankan yang memberikan fasilitas kredit ke industri sawit untuk bersikap lebih bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak buruh dan upah yang lebih baik, sehingga buruh perkebunan kelapa sawit mampu memenuhi kebutuhan hidup layak bagi keluarganya. 

"Bukankah selama ini mereka banyak mendapatkan keuntungan yang besar dari bisnis sawit? Sudah seharusnya mereka lebih bertanggung jawab," katanya. 

Karena itu, Mas Don mengatakan, F-Serbundo menuntut pemerintah segera membuat UU yang menjamin perlindungan hak-hak buruh perkebunan sawit.

"Atau, setidaknya pemda, termasuk Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, membuat peraturan daerah tentang perlindungan hak-hak buruh perkebunan kelapa sawit," desaknya.

Serbundo juga menuntut pemerintah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 110 tahun 1958 tentang Perkebunan dan Konvensi ILO Nomor 184 tahun 2001 tentang Kesehatan, Keselamatan Kerja di Perkebunan. 

Di saat yang sama, Mas Don mengatakan F-Serbundo menolak PP 36/2021 dijadikan sebagai acuan Pemerintah dan Dewan Pengupahan tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota dalam menetapkan upah minimum tahun 2022. 

"Kami juga menuntut agar pemerintah menetapkan kembali kebijakan tentang upah minimum sektor perkebunan sawit di tingkat provinsi dan kabupaten/kota," kata Mas Don.

Pihaknya juga mendesak setiap pemerintahan di tingkat daerah di seluruh Indonesia agar menetapkan upah minimum tahun 2022 untuk sektor perkebunan sawit berdasarkan kebutuhan hidup layak dengan kenaikan sebesar tujuh sampai sepuluh persen. 


 

Komentar Via Facebook :