https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

700 Desa di Kalteng Masuk Kawasan Hutan, Warga Sulit Buat Sertifikat

700 Desa di Kalteng Masuk Kawasan Hutan, Warga Sulit Buat Sertifikat

Ilustrasi sertifikat


Pekanbaru, elaeis.co - Bendahara Majelis Adat Dayak Nasional, DR. Dagut Djunas mengatakan terdapat 1.560 desa yang ada di Kalimantan Tengah (Kalteng). Dimana 700 desa di antaranya justru berada dalam klaim kawasan hutan.

Ini terjadi lantaran Kalteng yang luasnya sekitar 15.1508 juta hektar, 82 persennya diklaim menjadi kawasan hutan. Ia bahkan hafal karena Dagut lama mengemban tugas menjadi Kepala Bidang Tata Ruang Provinsi Kalteng, bahkan sempat jadi Ketua Teknis Tata Ruang.

"Dari 700 desa tadi saat ini ada 285 desa yang sudah tak berhutan lagi. Desa itu sudah berbatasan langsung dengan kebun kelapa sawit perusahaan," terangnya.

"Di Kalteng ada sekitar 400 perusahaan kebun kelapa sawit. Tapi hanya 116 perusahaan yang mengantongi Hak Guna Usaha (HGU). Lagi-lagi saya bilang, saya tahu data ini lantaran saya orang birokrat," tuturnya lagi.

Salah satu desa yang masuk dalam kawasan hutan itu adalah desa yang ditinggali Yastok Saling Kupang yakni desa Sebabi Kecamatan Telawang Kabupaten Kota Waringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah (Kalteng). 

Cerita lelaki yang sempat menjadi Kaur Umum Desa itu, ia sama sekali tak tahu menahu soal apa itu kawasan hutan. Apalagi adanya tim tata batas kawasan hutan. Selama dia menjabat tidak ada tim tersebut.

"Belakangan kami baru dapat cerita kalau desa ini masuk dalam kawasan hutan produksi, termasuklah pasar dan hotel yang ada di sini," ujar lelaki 55 tahun itu.

Menurutnya, lantaran statusnya dalam kawasan hutan itu, warga desa yang berjumlah 5.323 jiwa di desa itu kesulitan dalam membuat sertifikat lahan miliknya.

"Yang punya kebun sawit sudah risau, soalnya oknum-oknum sudah mendatangi pemilik kebun dengan dalih kebunnya masuk dalam kawasan hutan. Peninglah jadinya," ujar lelaki Dayak ini.

Sementara, Kepala Departemen Penguatan Organisasi dan Pendidikan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata membenarkan data yang dipaparkan Dagut tadi. Pihaknya justru mencatat bahwa lebih dari 70 persen kawasan hutan itu sudah dikuasai oleh korporasi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), Perkebunan dan Pertambangan.

"Di dalamnya belum termasuk proyek Restorasi Ekosistem (RE) dan Taman Nasional. Di Kalteng ini ada dua perusahaan RE," bebernya.

Lelaki 29 tahun ini juga menyebutkan bahwa maraknya kaplingan perusahaan di Kalteng tak lepas dari besarnya campur tangan pusat di "Bumi Isen Mulang" itu.

"Tak hanya soal kawasan hutan, tapi juga proyek food estate. Gampang sekali pusat menjadikan Kalteng sebagai lokasi food estate sementara secara kebijakan, belum ada Kepres ataupun Perpres yang menyatakan Pulang Pisau dan Kapuas jadi area food estate itu," katanya.

Padahal kata Bayu, sebelum food estate ada, persoalan di Kalteng sudah segunung, termasuk lah soal klaim kawasan hutan tadi. Sebab menurut Bayu, ada 400 desa yang pusat aktivitas masyarakatnya berada dalam kawasan hutan.

"Yang lebih parah itu ada di Lamandau, hampir 100 persen berada di kawasan lindung. Masyarakat di sana enggak bisa ngapa-ngapain," katanya.

Satu lagi yang bikin kacau kata Bayu, saat memberikan izin di kawasan hutan, pusat cenderung tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung daerah.

"Di Gunung Mas misalnya, izin perusahaan justru lebih luas dari luas administrasi daerah itu. Misalnya luas administrasinya hanya 300 ribu hektar, izin yang ada malah mencapai 350 ribu hektar," ujar Bayu.

Terkait keberadaan masyarakat dalam kawasan hutan tadi, Walhi Kalteng bersama Civil Society Organization (CSO) lain kata Bayu sudah berusaha mendorong supaya wilayah kelola dan budidaya masyarakat yang totalnya seluas 1,7 juta hektar tidak lagi berada dalam kawasann hutan.

"Kami mendorong ini melalui revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kalteng. Hanya saja upaya ini masih tarik ulur dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)," cerita Bayu.

Tapi setelah ditelusuri kenapa sampai terjadi tarik ulur itu kata Bayu, ternyata ada sederet oknum perusahaan yang mendompleng upaya tadi.

"Perusahaan-perusahaan yang terlanjur masuk dalam kawasan hutan ini sudah holding zone pada Perda 5 2015 tentang RTRW Kalteng. Luasnya mencapai 1,5 juta hektar, mereka ingin diputihkan," katanya.

Serampangannya izin-izin dan luasnya kawasan hutan di Kalteng kata Bayu telah membikin ruang gerak masyarakat teramat sempit.

Situasi ini mau tak mau akan memicu konflik agraria. "Dan ini akan jadi bom waktu meski konflik itu sebenarnya sudah ada. Kajian Walhi Kalteng, dari 2018-2020 lebih dari 245 konflik agraria sudah terjadi. Itu hampir di semua kabupaten. Konflik terbesar itu ada di sektor perkebunan," katanya.

Kemarin, dalam webinar yang digelar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Hardwinarto menyebut bahwa sebelum-sebelumnya beberapa undang-undang belum mengatur secara tegas keberadaan masyarakat terkait kawasan hutan. Itulah makanya penyelesaiannya belum optimal.

Di acara yang bertajuk serap aspirasi terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) itu Sigit sempat juga menyebut bahwa ada 3,3 juta hektar kebun kelapa sawit berada dalam kawasan hutan.

Tapi kalau merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan Permenhut 44 tahun 2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, Sigit terkesan hanya berdalih.

Sebab di dua aturan itu tegas-tegas dibilang bahwa walau sudah ditetapkan pun sehamparan kawasan hutan tapi masih ada hak masyarakat di dalamnya, maka hak masyarakat itu musti dikeluarkan.

Begitu juga dengan hak adat, bahwa di pasal 57 Permenhut itu dbilang, sebagian maupun secara keseluruhan tanah ulayat yang ada di kawasan hutan, musti di keluarkan.

Komentar Via Facebook :

Berita Terkait :