https://www.elaeis.co

Berita / Kalimantan /

Adu Taji Perusahaan HTI dengan Perusahaan Sawit di Kalbar

Adu Taji Perusahaan HTI dengan Perusahaan Sawit di Kalbar

Anggota tim kuasa hukum dan direktur PT SKR membuat pengaduan penyerobotan lahan ke Kejati Kalbar. foto: ist.


Pontianak, elaeis.co - Kesal areal konsesinya dicaplok dan dijadikan kebun sawit, pihak PT Sinar Kalbar Raya (SKR) akhirnya melaporkan PT Rezeki Kencana Prima (PT RKP) ke Kejati Kalimantan Barat (kalbar). Tuduhannya tak main-main, perusahaan sawit itu dinilai mengelola hutan secara ilegal yang berpotensi menyebabkan kerugian negara.

Berkas pengaduan itu diserahkan Dirut PT SKR Rudi bersama tim kuasa hukum PT SKR, Damianus H Renjaan SH MH, Bonifasius Falakhi SH, dan Zaky Zhafran SH, ke Kejati Kalbar, Jumat (28/6). "Kami melaporkan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan PT RKP terkait kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan yang izinnya dimiliki PT SKR," kata Damianus dalam rilisnya, kemarin.

Baca juga: Paska Temuan Sawit di Areal HTI, Masyarakat Diminta Konsultasi Sebelum Buka Kebun

Dia menjelaskan, PT SKR memiliki konsesi hutan tanaman industri (HTI) seluas ± 38.000 ha di Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sanggau, dan Kabupaten Landak, sesuai keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.601 Menhut-II/2009 tanggal 2 Oktober 2009 Tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI). Izin itu terdiri dari 4 blok, yakni Blok I seluas ±3.415 ha, Blok II seluas ±18.650 ha, Blok III seluas ±1.745 ha, dan Blok VI seluas ±14.190 ha.

Pada tahun 2013, terbit SK Menteri Kehutanan Nomor SK.936/Menhut-II/2013 tanggal 20 Desember 2013 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, dan Penunjukan Kawasan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan di Provinsi Kalimantan Barat. Dalam diktum ketujuh SK Menteri ini dinyatakan bahwa izin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan yang masih berlaku dan berada dalam kawasan hutan yang mengalami perubahan peruntukan, masih tetap berlaku sampai dengan izinnya berakhir.

Baca Juga: Titik Api Muncul di Lahan Ratusan Perusahaan Sawit dan HTI, Ada yang Alami Karhutla Berulang

"Penyerobotan lahan ini sudah berlangsung seiring dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan Nomor SK.936/Menhut-II/2013 ini," katanya.

Pada 4 Desember 2017, Bupati Landak menerbitkan Keputusan Nomor 503/342/HK-2017 yang memberikan Izin Lokasi untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit atas nama PT RKP seluas ±6.274 ha yang berlokasi di atas areal kerja IUPHHK-HTI PT SKR, tepatnya di Blok II yakni Desa Pak Mayam, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak.

"PT SKR telah berkali-kali mengajukan keberatan kepada Bupati Landak. Dan sampai saat ini, PT RKP tidak pernah memperoleh Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di atas lahan IUPHHK-HTI milik PT SKR," sebutnya.

Menanggapi protes PT SKR, pada 6 Februari 2018, Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III mengeluarkan Hasil Telaahan Teknis Fungsi Kawasan Hutan Terhadap Areal perkebunan sawit atas nama PT RKP, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Izin Lokasi perkebunan sawit PT RKP terdapat tumpang tindih perizinan dengan IUPHHK-HTI milik PT SKR. Pada 2 Juni 2018, Bappeda Kabupaten Landak lantas mengeluarkan rekomendasi agar PT RKP terlebih dahulu menyelesaikan masalah tumpang tindih izin lokasinya dengan PT SKR dan tidak melakukan kegiatan sebelum status areal izin diperoleh.

Baca juga: Terbakar, Lahan Perusahaan Sawit dan HTI di Kalbar Disegel Gakkum KLHK

Persoalan belum selesai, pada 21 Maret 2021 terbit Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.75/MENLHK/SETJEN/HPL.0/3/2021 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.601/MENHUT-11/2009. Adapun dasar penerbitan keputusan ini adalah Surat Bupati Landak Nomor 525/7718/Disbun/2020 tanggal 10 Desember 2020 dan Surat Gubernur Kalbar Nomor 619/1455.I/Dishut-IV/BPPHT/2016 tanggal 29 April 2016.

Tak terima, 14 Oktober 2021, PT SKR menggugat penerbitan SK Nomor SK.75/MENLHK/SETJEN/HPL.0/3/2021 ke Pengadilan Tata Usaha Negara(PTUN) Jakarta. Hasilnya, 31 Maret 2022 PTUN Jakarta dalam pokok perkara mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya dan menyatakan SK Nomor SK.75/Menlhk/Setjen/HPL.0/3/2021 batal. PTUN juga mewajibkan Menteri LHK selaku tergugat mencabut SK NomorSK.75/MenIhk/Setjen/HPL.0/3/2021.

 

Menteri LHK mengajukan banding, namun Amar Putusan PT-TUN Jakarta No. 128/B/2022/PT.TUN.JKT, tanggal 31 Agustus 2022 justru menguatkan putusan PTUN Jakarta Nomor 239/G/2021/PTUN.JKT. tanggal 31 Maret 2022. Kasasi yang diajukan Menteri LHK juga ditolak Mahkamah Agung melalui Amar Putusan No. 52K/TUN/2023 tanggal 21 Maret 2023.

Menteri LHK kemudian mengajukan peninjauan kembali, namun Amar Putusan Mahkamah Agung No. 26 PK/TUN/2024 tanggal 14 Mei 2024 menolak peninjauan kembali yang diajukan oleh pemohon.

Baca juga: Petani Berontak: Korporasi HTI Jangan Tebang Sawit Kami!

Menurut Damianus, saat PTUN Jakarta melakukan sidang pemeriksaan lapangan, ditemukan fakta bahwa sebagian besar lokasi izin PT SKR yang luasannya dikurangi atau diciutkan berdasarkan objek sengketa aquo, telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh PT RKP untuk kebun sawit. "Tanaman sawit di lokasi tidak ada yang dimiliki oleh masyarakat. Terbukti dengan adanya plang di areal tanaman sawit dengan tulisan PT RKP di lokasi kedua pemeriksaan setempat. Umur sawit di atas 5 tahun," ungkapnya.

Dengan keluarnya putusan peninjauan kembali, maka gugatan PT SKR telah berkekuatan hukum tetap. Perusahaan lantas berupaya melakukan eksekusi, namun di lapangan ada pihak-pihak yang menyerobot dan menguasai lahan PT SKR dan telah memperoleh hasil panen sawit. "Walau sudah ada keputusan dari Mahkamah Agung, namun PT RKP tetap melakukan aktivitas di atas konsesi PT SKR. Padahal PT RKP tidak pernah memperoleh Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di atas lahan IUPHHK-HTI milik PT SKR," tandasnya.

Baca juga: Usai Anjlok Pekan lalu, Harga Sawit di Kalbar Merangkak Naik Periode Ini

"Jalan tanah di perkebunan itu sangat terpelihara dengan baik. Truk-truk terlihat silih berganti keluar masuk. Dikarenakan ada pihak lain yang menguasai lahan, PT SKR tidak dapat melakukan eksekusi meskipun proses hukumnya sudah inkrah sampai tingkat Mahkamah Agung," sesalnya lagi.

Menurutnya, selain merugikan PT SKR, penyerobotan lahan dan melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin berusaha dari pemerintah berpotensi menyebabkan kerugian negara.

Salah satunya dari nilai jual kayu hutan alam dan PSDHDR dengan tegakan sekitar 80 M3/ha. Lalu kerugian potensi pajak daerah dan negara atas panen sawit di lahan tak berizin. "Coba dihitung secara overall, berapa banyak kerugian negara akibat dari perambahan lahan milik PT SKR," tukasnya.

Baca juga: Tiga Golongan Barang Dominasi Ekspor Kalbar, Kontribusi Sawit Cukup Signifikan

"Tindakan yang dilakukan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab inilah yang mendorong PT SKR mengambil langkah hukum dengan melaporkan ke Kejati Kalbar atas dugaan tindak pidana korupsi," imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Energi and Resource Indonesia (CERI) Yusri Usman meminta pihak penegak hukum memproses masalah yang telah menjadi isu nasional ini. "Apalagi kasus ini sudah dilaporkan ke Kejati Kalbar. Kita berharap kasus ini dapat menjadi atensi Kejati Kalbar," tegasnya.


 

Komentar Via Facebook :