https://www.elaeis.co

Berita / Lipsus /

Akal Bulus 'Anak-Cucu' UUCK

Akal Bulus

Prof. Sudarsono Soedomo. foto: ist


Jakarta, elaeis.co - Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) itu masih menancap kokoh di deretan pasal pada Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sudah disahkan pada November tahun lalu. 

Pasal itu mengatakan begini; Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Sebab, kata pasal 14 ayat 2 Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang juga ada pada hamparan Omnibus Law itu; Kegiatan pengukuhan kawasan hutan dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan

Ini diperjelas lagi oleh pasal 15 ayat 1; Pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui: Penunjukan kawasan hutan; penataan batas kawasan hutan; pemetaan kawasan hutan; dan penetapan kawasan hutan. 

"Itu artinya adalah bahwa kawasan hutan yang sudah ditetapkanlah yang sudah berkekuatan hukum tetap," terang Guru Besar Ilmu Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Sudarsono Soedomo saat berbincang dengan elaeis.co, kemarin.  

Pakar hukum perhutanan, Dr. Sadino yang juga ikut berbincang dengan elaeis.co, mengamini itu. "Artinya juga bahwa sanksi, baru bisa dibebankan kepada orang apabila melakukan pelanggaran pada kawasan hutan yang sudah berkekuatan hukum tetap," tambahnya. 

Jadi, pasal-pasal sanksi menyangkut kehutanan yang ada pada Omnibus Law itu kata Sudarsono, adalah pasal sanksi untuk pelanggaran pada kawasan hutan yang sudah ditetapkan. Misalnya pada pasal viral; 110A maupun 110B yang saat ini jadi rujukan bagi pekebun sawit yang dianggap melakukan pelanggaran kawasan hutan. 

"Di dua pasal itu kan dimunculkan opsi sanksi; Ultimum Remedium (sanksi administrasi). Bahkan bagi pekebun yang lahannya maksimal 5 hektar dan dia tinggal di sana, tidak diberi sanksi. Opsi itu bagus, jika acuannya kawasan hutan yang sudah ditetapkan. Itulah sebenarnya manfaat Omnibus Law ini, mengusung kemudahan," ujar lelaki 64 tahun ini. 

Hanya saja kata lelaki asal Banyuwangi ini, anak (peraturan pemerintah) dan cucu (peraturan  Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) UUCK ini justru membolak-belokkan batasan aturan main kawasan hutan itu.

Bahwa sanksi yang dibebankan tidak lagi pada pelanggaran di kawasan hutan yang sudah ditetapkan, tapi justru pada kawasan hutan yang masih dalam tahap penunjukan. Celakanya, sampai sekarang kata Sudarsono, otoritas kehutanan tidak pernah punya data dan kemudian menunjukkan mana kawasan hutan yang sudah ditetapkan dan mana yang belum. 

"Kalau Ultimum Remedium dipakai untuk kawasan hutan yang masih tahap penunjukan, itu bukan memberi kemudahan namanya, tapi pemalakan dan 'pembantaian'. Saya bilang begitu lantaran otoritas kehutanan menerapkan sanksi pada mereka yang dianggap melakukan pelanggaran pada kawasan hutan yang belum berkekuatan hukum," ujarnya.

Dan dibilang 'pembantaian' lantaran otoritas kehutanan memberlakukan istilah kawasan hutan sebelum ditunjuk dan sesudah ditunjuk sebagai opsi bagi masyarakat yang punya lahan maksimal 5 hektar di sekitar atau di kawasan hutan.   

Kalau masyarakat itu menguasai sebelum kawasan ditunjuk, lahannya dilepas dan rakyat kemudian dihadapkan pada tiga opsi --- penataan kawasan hutan, perhutanan sosial dan TORA --- jika menguasai lahan setelah penunjukan kawasan hutan. 

"Cara-cara seperti ini yang saya bilang pelanggaran hukum itu. Jika kawasan hutannya masih penunjukan, mestinya otoritas kehutanan menjalankan tahapan lanjutan dari penunjukan kawasan hutan itu, bukan malah 'membantai' orang dengan aturan-aturan tak jelas," tegasnya. 

Dua hari lalu, DPW Apkasindo Riau dan GAPKI Riau menggelar "Sosialisasi Regulasi UUCK beserta turunannya & Pencegahan Karhutla".

Kadis Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Riau, Mamun Murod dan Kepala Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XIX, Sofyan, menjadi narasumber utama di acara yang dimoderatori oleh Sekjen DPP Apkasindo, Rino Afrino itu. 

Dalam paparannya, Murod mengurai bahwa berdasarkan SK 903 tahun 2016 tentang kawasan hutan Riau, luas kawasan hutan di Riau mencapai 5,38 juta hektar. 

Kelapa sawit, baik milik perorangan maupun korporasi, dibilang telah mengambil-alih 1,89 juta hektar dari luasan kawasan hutan tadi. 

"Kalau SK 903 itu yang dijadikan acuan, itu SK penunjukan. Lantaran masih penunjukan, otoritas kehutanan harus segera melakukan penataan batas hingga pengukuhan kawasan hutan itu. Pengukuhan ini dibuktikan dengan Peta Temu Gelang dan Berita Acara Tata Batas (BATB). Bukan malah mengklaim orang masuk dalam kawasan hutan," katanya. 

Sangat terang benderang kata Sudarsono bahwa kawasan hutan yang masih hanya berstatus penunjukan, belum memiliki kekuatan hukum, apalagi kawasan hutan yang belum ditunjuk. Namun dalam proses penyelesaian persoalan tanah di dalam kawasan hutan versi PP 23 dan PP 24, frasa sebelum dan sesudah ditunjuk justru dimunculkan pula. 

"Gara-gara frasa ini, mayoritas hak-hak masyarakat atas tanahnya akan berpotensi 'dirampas' menjadi hutan atau perhutanan sosial, sebab kawasan hutan di Riau pertama kali ditunjuk pada tahun 1986. Saya yakin saat itu, Kota Pekanbaru saja masih berhutan," katanya

Kalau aturan main itu dipaksakan, maka PP itu kata Sudarsono telah menabrak UUCK, Putusan MK 45 2011, pasal 14 dan 15 UU 41 1999 dan pasal 1 ayat 2 UU 18 2013. 
   
Bicara klaim kawasan hutan dan bukan kawasan hutan kata Sudarsono, sesungguhnya bukan tentang apa yang ditanam orang di atas tanah itu, tapi sepenuhnya hanya bicara hak atas tanah. 

"Soal apa yang boleh dan tidak boleh ditanam di atas lahan itu, domainnya sudah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dalam aturan, kawasan hutan harus nurut ke RTRW itu. Lalu kenapa kehutanan ikut campur dengan hak rakyat dengan membuat aturan jika sesuai perizinan dan peruntukan tata ruang?" Sudarsono bertanya.  

Tentang kecukupan luas hutan kata Sudrasono, yang mestinya ngomong cukup dan tidak cukup itu adalah konsumen jasa hutan, bukan penyedia jasa hutan. 

"Kalau penyedia jasa hutan yang ngomong, itu autis namanya. Mari kita tanya rakyat Riau, berapa luas hutan yang diperlukan? Penentuan kecukupan luas hutan itu harus melalui proses Free Prior Informed Consent (FPIC) atau Persetujuan Dengan Informasi Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa), bukan suka-suka," tegasnya. 


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :