Berita / Nusantara /
Akal Bulus Asing Biar Sawit Dibanderol Murah
Jakarta, elaeis.co - Kalau oknum di Eropa, Amerika dan Non Government Organization (NGO) bayaran oknum di dua benua itu terus menyebar kebencian kepada kelapa sawit, termasuk kejadian terbaru terkait Korindo di Papua, agaknya sudah tak aneh lagi.
Sebab kata ayah tiga anak ini, kebencian itu sudah mendarah daging. "Jadi apapun pasti mereka lakukan untuk mendiskreditkan sawit," kata Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) ini kepada elaeis.co, kemarin.
Tapi kalau ditengok dari keseharian orang di dua benua tadi, kebencian yang ditabur itu justru bertolak belakang.
Sebab untuk urusan masak memasak hingga goreng menggoreng pun, Negeri Benua Biru dan Benua Merah ini justru bergantung kepada minyak kelapa sawit.
Tengok sajalah untuk membikin Pop-Corn, Kentucky dan Mc Donal, minyak sawit juga yang diandalkan. Begitu juga untuk kebutuhan industri coklat dan makanan lain, juga dipakai.
"Minyak kelapa sawit dalam bentuk Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) enggak mengandung trans-fat. Minyak ini punya karakteristik kayak Hydrogenated Oil," cerita Sahat Sinaga, ayah tiga anak tadi.
Di Eropa dan Amerika kata Sahat, minyak yang dipakai bersumber dari Soybean. Minyak ini mengandung trans-fat yang berbahaya bagi kesehatan. Bisa membikin jantung dan pembulu darah bermasalah.
Biar bisa jadi minyak goreng kata jebolan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) 1973 ini, Soybean tadi dihidrogenasi supaya hydrogenated oil nya bisa padat pada temperatur ruang dan tahan panas tinggi. "Pada proses hydrogenasi tadi lah, minyak ini jadi mengandung trans-fat," katanya.
Sebenarnya kata lelaki kelahiran Nainggolan Samosir Sumatera Utara (Sumut) ini, di Eropa dan Amerika, bibit kebencian kepada minyak kelapa sawit sudah ada sejak 50 tahun silam.
Isu yang pertama kali mencuat adalah minyak sawit jadi penyebab obesitas dan kolesterol. "Tahun '78-an saya tinggal di Eropa, isu itu masih ada. Tapi waktu itu Eropa enggak percaya dengan tuduhan Amerika soal obesitas dan kolesterol itu. Mereka tetap beli minyak sawit," katanya.
Ketidakpercayaan Eropa tadi kemudian dibuktikan oleh para ahli. Alhasil, Amerika dan perusahaan tropikal oil bersepakat untuk tidak saling menjelekkan.
Pada 2013, Benua Biru memutuskan memakai biodiesel. Tujuannya untuk menurunkan emisi. Untuk menjalankan misi tadi, pemerintah setempat menggelontorkan subsidi kepada perusahaan yang mau membikin Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang notabene bahan bakunya minyak nabati.
Untuk membikin FAME itu, perusahaan justru berbondong-bondong membeli Crude Palm Oil (CPO) kelapa sawit. Harganya jauh lebih murah ketimbang minyak Rapeseed atau minyak Soybean. Selisihnya antara $US120-$US180 per ton.
"Harga CPO lebih murah. Kalau misalnya harga minyak sawit $US670 per ton, Rapeseed sudah di angka $US790 per ton," katanya.
Proyek pemerintah tadi kata Sahat benar-benar membikin industri FAME ketiban durian runtuh. Sudahlah dapat duit subsidi, harga CPO murah.
Lama kelamaan Perancis protes. Gara-gara CPO tadi, minyak Rapeseed tak laku. Kalaupun laku, paling di musim digin. Sepanjang musim panas, CPO yang laris manis.
Empat tahun lalu, produksi CPO Indonesia meningkat, sampai-sampai menguasai pasar dunia. Isu deforestasi muncul.
"Dicari-carilah bahan untuk memperkuat isu itu. Foto orang hutan yang seolah teraniaya disebar. Tunggul-tunggul kayu difoto seolah-olah hutan Indonesia sudah luluh lantak," cerita Sahat.
Padahal jauh-jauh hari, Presiden Soeharto sudah menyuruh supaya sawit ditanam di bekas-bekas tebangan kayu, bukan menebang hutan lalu sawit ditanam.
Terus, di tahun 2011 Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah pula mengeluarkan Perpres moratorium, enggak boleh lagi membuka lahan baru.
"Tapi bagi para pembenci sawit tadi, Perpres moratorium ini dianggap lips service. Ekspor CPO dan turunannya dari Indonesia, diganjal. Kita gugatan kelakuan itu di WTO dan menang," ujar Sahat.
Isu deforestasi meredup, aturan bea masuk tinggi dibikin. Alasannya, biodiesel Indonesia pakai subsidi pemerintah. Jadi biar bisnis fair, bea masuk ditinggikan. "Padahal tujuan mereka untuk mengganjal laju ekspor biodiesel ke Eropa itunya," kata Sahat.
Celakanya, tudingan itu dibumbui pula dengan bahasa; petani kelapa sawit mensubsidi pembuatan biodiesel.
"Sebenarnya alasan tadi sangat tidak masuk akal. Tapi itu tadilah, ragam isu terus dibikin supaya mereka dapat harga murah. Sebab seperti yang saya bilang tadi, mereka sebenarnya butuh dengan minyak sawit ini," katanya.
Dan ini kata Sahat sudah terbukti. Segimana pun orang di dua benua tadi teriak-teriak, ekspor CPO malah melejit. Kebutuhan di pasar global meningkat.
Apalagi di masa pandemi seperti sekarang. Orang di dua benua tadi kesulitan memanen Rapeseed, Bunga Matahari dan Zaitun.
"Di Indonesia covid-19 enggak berdampak kepada petani kelapa sawit lantaran sudah lebih dari social distancing. Saat panen mereka berjauh-jauhan," Sahat tertawa.
Sahat kemudian merinci, ekspor CPO kwartal I mencapai 7,6 juta ton, kwartal II naik menjadi 7,8 juta ton, kwartal III melejit menjadi 9,4 juta.
"Di kwartal IV kita memprediksi akan naik menjadi 9,5 juta ton. Inilah kontroversi sawit, dibenci tapi dibutuhkan," ujarnya.
Dari semua kenyataan yang ada itu kata Sahat, intinya soal sawit ini adalah persaingan usaha yang membikin 'ngeri' produsen minyak non sawit.
"Semua lini di masyarakat kita disusupi demi menjelekkan sawit ini, termasuk sejumlah media. Buktinya, ada berita yang bilang FAME dan biodiesel lebih buruk dari fosil. Tapi sampai sekarang enggak ada buktinya," ujar Sahat.
Dan sayangnya, orang Indonesia banyak pula yang sudah terpengaruh oleh isu-su yang ditabur itu; hampir di segala lini, termasuk oknum wakil rakyat.
NGO pengaruhi KLHK, dan sejumlah kementerian. Alhasil, tidak ada kementerian yang fokus untuk bertanggungjawab tentang serangan terhadap kelapa sawit ini.
Diperkirakan ada sekitar 17 kementerian yang mengurusi sawit. Lantaran ramai, yang ada malah ribut. "Kenapa bisa seperti ini, ya inilah pintarnya penyusup itu. Mereka masih melakukan pola devide et impera. Adu domba," tegas Sahat.
Dan oleh semua isu tadi, mestinya Idonesia tidak perlu gugup, "Usahakan perbaiki tanaman kita supaya sustainable, garap lahan dengan baik dan produktif," pinta Sahat.
Lantas, hilangkan image subsidi. Caranya, dana selisih antara FAME dan fosil, biar BPDPKS berurusan dengan Pertamina. Jadi, Pertamina membeli Fame ke perusahaan secara B to B saja," kata Sahat. Omongan ini pula yang dia sampaikan pada webinar yang ditaja oleh Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), kemarin.
Terus, pemerintah musti betul-betul tidak ambigu. Kalau memang sawit adalah tanaman yang bisa memperkerjakan orang banyak dan memberikan devisa tinggi, konsistenlah menjadikan itu sebagai politikal will bahwa ekonomi Indonesai ditopang sawit.
"Kalau sudah begitu, apapun yang terjadi, hadapi. Selesaikan lahan-lahan yang dikatakan hutan itu, lepaskan. Biar enggak dibilang deforestasi meski sebenarnya sebelum pemerintahan ini ada, masyarakat sudah ada di kawasan yang dibilang hutan tadi. Di Sumut misalnya, dari tahun 1930 kawasan itu sudah jadi sawit dan sudah ber HGU, tapi masih juga diklaim kawasan hutan," katanya.
Yang lebih penting lagi kata Sahat, pemerintah harus menetapkan siapa sebenarnya komando di industri sawit ini, biar yang lain ngikut saja.
"Kalau kapal ini mau bergerak kencang, jangan banyak jangkar. Dan yang terakhir, kembangkan pemakaian biohidrokarbon," pintanya.
Komentar Via Facebook :