Berita / Nusantara /
Akankah Duit Rp1.369,7 Triliun Jadi 'Tumbal' RPP?
Jakarta, elaeis.co - Siapapun bisa jadi akan bergidik menengok angka ini; Rp1.369,7 triliun. Angka yang musti ditanggung oleh petani kelapa sawit dan negara kalau otoritas kehutanan menghutankan kembali 2,73 juta hektar kebun kelapa sawit rakyat yang diklaim dalam kawasan hutan.
Tim pakar Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) membikin hitungan ini lantaran aroma pemberangusan itu sangat kental.
Apalagi setelah muncul aroma campur tangan asing dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah terkait kehutanan sebagai turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) nomor 11 tahun 2020 itu, petani sawit langsung terbayang saja dengan apa yang terjadi dengan penyusunan aturan main soal Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
"Ya samalah ceritanya dengan pembahasan aturan ISPO yang lalu, itu bukan rahasia lagi. Presiden harus tahu ini dan bertindak cepat. Rakyat sedang susah oleh Corona, jangan ditambah lagi penderitaan rakyat oleh RPP ini," kata Ketua Umum DPP Apkasindo, DR (c) Gulat Medali Emas Manurung, saat berbincang dengan elaeis.co, Minggu (10/1).
Ayah dua anak ini kemudian menjabarkan kenapa sampai muncul hitungan Rp1.369,7 triliun tadi. "Total kerugian petani mencapai Rp546 triliun. Angka itu bersumber dari kerugian fisik kebun Rp300,3 triliun, dampak sosial Rp122,85 triliun dan pembelian lahan baru sekitar Rp122,85 triliun. Dampak dari sini, 8,34 juta orang dipastikan menganggur," Gulat merinci.
Pemerintah juga kata lelaki 48 tahun ini akan merogoh kocek dalam-dalam hingga Rp525 triliun untuk menghutankan kembali lahan itu. Waktu yang dibutuhkan minimal 20 tahun.
"Pemerintah juga bakal kehilangan pendapatan tahunan dari bea keluar dan pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO) sekitar Rp298,7 triliun. Angka itu sudah termasuk untuk membeli solar lantaran CPO menyusut," katanya.
Kalau pohon sawit yang ditebangi itu masih rata-rata berumur 10 tahun kata Gulat, maka 15 tahun lah pendapatan Negara hilang. "Umur sawitkan rata-rata 25 tahun. Masa produksi yang tersisa 15 tahun, kalikan saja dengan yang Rp298,7 triliun itu," pinta Gulat.
Jika nasib petani akan berakhir dengan penebangan pohon kelapa sawit kata Gulat, RPP terkait kehutanan yang sedang digodok itu, dipastikan tidak sejalan dengan cita-cita UUCK seperti yang diharapkan Presiden Jokowi.
Sekarang kata Gulat, Presiden dan Wapres menjadi harapan petani. "Mengadu ke orang tua kami di Dirjendbun, mereka sudah buang badan. Berharap kepada korporasi, mereka cuma menyelamatkan diri sendiri nya. Maklum, hanya 2,28% dari total sawit dalam kawasan hutan itu milik korporasi, sisanya milik petani," ujar Gulat.
Mestinya kata Gulat, persoalan semacam ini tak perlu sampai ke Presiden dan Wapres, sebab yang semua orang tahu kalau pembantu Presiden dan Wapres musti menjalankan visi dan misi Presiden dan Wapres itu, bukan menjalankan visi dan misi masing-masing plus antek-anteknya.
"Selama ini kami petani sawit sudah cukup sabar menahan diri dengan segala regulasi yang merugikan kami, tapi kali ini, kami tak akan diam, kami akan mendatangi mereka yang sudah mengabaikan suara petani. Jangan salahkan kami sekalipun akan terpapar Corona lantaran puluhan ribu orang terpaksa berkumpul di Jakarta," tegas Gulat.
Anggota Divisi Riset dan Advokasi Relawan Jaringan Rimbawan (RJR), Petrus Gunarso, PhD, punya pandangan yang sama dengan Gulat.
Lelaki 63 tahun ini menyebut bahwa tujuan Presiden Jokowi memerintahkan pembantunya untuk menyusun UUCK adalah untuk memastikan agar orang bisa berinvestasi dengan tenang, mudah, murah dan tenaga kerja pun terserap.
"Kebun yang dibilang tumpang tindih dengan kawasan hutan yang sangat luas itu, sejatinya juga investasi. Penyelesaian untuk "investasi" ini perlu dicari" kata ayah tiga anak ini seperti dilansir Gatra.com, kemarin.
Lebih jauh mantan Ketua Forum Kolaborasi Rimbawan Indonesia (FKRI) ini menyebut, kalau tujuan UUCK itu untuk menciptakan iklim investasi yang lebih positif, melihat besarannya, kenapa bukan investasi rakyat ini saja yang segera diselesaikan secara elegan?
"Memformalkan dan melegalkan "keterlanjuran", sama saja dengan penyelamatan investasi," katanya.
RPP seperti yang saat ini ada kata Petrus, nampaknya belum menjadi solusi bagi para petani/pekebun yang terlanjur berinvestasi itu. Ini berarti, RPP itu belum sejalan dan belum seirama dengan cita-cita UUCK.
Lelaki ini kemudian mengulas soal kawasan hutan yang menjadi sumber masalah tadi. Bahwa tata batas belum jelas, tata ruang belum disepakati, batas tidak diketahui dan dipahami, proses sering kurang prosedural, menjadi penyebab berbagai keterlanjuran.
"Kalau ratusan orang bahkan ribuan orang masuk ke kawasan hutan, mustinya dari awal kehutanan sudah tahu dan harus dicegah, tapi ini, kenapa setelah kebun petani menghasilkan dan bahkan ada tanamannya yang sudah tua, baru mau dibenahi dengan sangsi dan denda" katanya
Tak hanya itu yang disoroti Petrus, kehutanan juga keliru jika menunjuk kawasan hutan untuk rencana dilepaskan. Sebab dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa penunjukan kawasan hutan adalah untuk dijadikan hutan tetap, bukan ditunjuk untuk dapat dikonversi.
"Menurut hemat saya, ada kekuasaan yang berlebihan. Kehutanan masih beranggapan bahwa Undang-Undang Pokok Kehutanan nomor 5 tahun 1967 itu masih berlaku. Padahal itu sudah lama dicabut dan diganti dengan Undang-Undang sektor, UU 41 Tahun 1999 tentang kehutanan," katanya.
Hal terpenting dari perubahan itu kata Petrus adalah perlunya penetapan kawasan hutan yang mengacu pada tata ruang. Artinya, perlu ada kesepakatan mengenai penetapan kawasan hutan dan tata ruang.
"Rakyat mengelola secara ilegal, itu tidak sepenuhnya tepat. Kalau ilegal dihukum dong. Sepatutnya sebutan itu informal. Kalau rakyat mengelola secara informal, maka langkah pemerintah adalah bagaimana yang informal tadi menjadi formal," kata Petrus.
Petrus menegaskan RJR sendiri punya 4 motto; Voicing the voiceless (menyuarakan yang tidak mampu bersuara), Residual Approach (pendekatan sisa; berikan ke rakyat untuk dikelola, sisanya dikuasai negara), Affirmative Action (lakukan keberpihakan dalam mewujudkan keadilan. Berpihak pada yang lemah!), Legalizing the illegality–formalizing the informality (khususnya dalam penguasaan lahan bagi rakyat, yang sifatnya tidak formal dibantu menjadi formal), dan Land Amnesty (sebagai penyeimbang terhadap Tax Amnesty. Tax amnesty hanya berlaku untuk orang superkaya – sedangkan land amnesty harus diberikan kepada mereka yang super miskin yang sampai sekarang jumlahnya masih sangat banyak).
"Sederhananya di motto tadi, kehutanan misalnya mau membikin kawasan hutan, tata batas dulu punya rakyat, sisanya buat negara, jangan terbalik. Begitu juga soal pengelolaan lahan, jangan orang dari Papua, Kalimantan diminta mengajukan proposal dan disuruh datang ke Jakarta, tapi kehutananlah yang mendatangi, mendampingi dan membantu mereka yang membutuhkan," katanya.
Terkait adanya issue lahan untuk rakyat maksimal dua hektar atau lima hektar kata Petrus, itu muncul lantaran berbagai publikasi dari berbagai pihak dan banyak mengacu pada program transmigrasi.
"Publikasi semacam ini yang dipromosikan sampai ke tingkat internasional. Sebenarnya batasan luasan ini perlu segera ditetapkan secara adil sesuai dengan lokalitas masyarakatnya. Luasan maksimum perorangan di Jawa mungkin perlu dibedakan dengan di luar Jawa. Hal ini sebaiknya diatur dalam penataan agraria. Usulan semacam ini mengemuka dalam diskusi dengan ATR/BPN beberapa waktu lalu," ujarnya.
Komentar Via Facebook :