Berita / Nusantara /
Apkasindo Minta Pembantu Presiden Selesaikan Sengkarut Kawasan Hutan
Pekanbaru - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung berharap dua menteri yang berkaitan dengan petani kelapa sawit Indonesia bisa berkolaborasi menyelesaikan persoalan klasik yang selama ini masih menjadi momok petani kelapa sawit.
"Sekarang kita sudah punya Menteri Pertanian yang baru, Bapak Syahrul Yasin Limpo. Mantan Gubernur Sulawesi Selatan yang saya pikir pernah juga berhadapan dengan persoalan kawasan hutan ini. Kami sangat berharap beliau berani dan tegas membela petani sawit yang diklaim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berada dalam kawasan Hutan," pinta Gulat, melalui sambungan telepon, Kamis (24/10). Gulat mengaku sedang rapat bersama Dewan Sawit Indonesia di kantor Pusat Dewan Sawit di Jakarta.
Begitu juga dengan Menteri LHK yang baru, Siti Nurbaya. Dengan sosok lama ini, Gulat juga berharap Siti bisa melanjutkan penuntasan persoalan petani kelapa sawit pada klaim kawasan hutan tadi. "Pada periode lalu kami sudah banyak berdiskusi dan memberikan masukan kepada beliau tentang apa yang dirasakan oleh petani kami," ujar Gulat.
Selama ini kata Gulat, petani kelapa sawit sama sekali tidak tahu menahu tentang apa itu kawasan hutan. Selain tidak pernah mendapat sosialisasi, klaim kawasan hutan ini pun belakangan baru muncul persis saat tanaman petani kelapa sawit sudah menghasilkan.
"Apkasindo adalah organisasi petani sawit, salah satu tugas kami adalah menjembatani kepentingan dan mencari solusi keresahan petani dan menyampaikannya ke Pemerintah dan stakeholder lainnya. Jadi jangan ada yang jengkel dan tersinggung jika Apkasindo ngotot menyuarakan banyak hal terkait petani sawit, kalau enggak mau mendengar suara petani Apkasindo, ya berhentilah jadi pejabat. Sebab Presiden Jokowi butuh pejabat yang bergaya eksekutor, bukan malah sibuk berwacana," ujar Gulat.
Petani sawit kata Gulat berusaha dengan modal sendiri, mandiri. Mulai dari membeli tanah hingga menggarap dan sampai menghasilkan seperti sekarang, "Kami jabani sendiri. Dengan begitu, praktis kami nyaris tidak pernah merepotkan pemerintah. Kalaupun sekarang sawit menjadi sumber devisa terbesar negeri ini, 45 persennya andil petani," terang Gulat.
Sudahlah menjadi sumber devisa terbesar kata Gulat, secara Sustainable Development Goals (SDGs) yang disyaratkan oleh PBB untuk kriteria industri, hanya sawit yang memenuhi 17 kriteria SDGs itu. "Haruskah kita menutup mata tentang ini?" Gulat bertanya.
Tapi dengan andil seperti itu kata Gulat, petani sawit malah semakin dipersalahkan. Belum lagi saban saat oknum-oknum menakut-nakuti dan 'memalak' petani lantaran klaim kawasan hutan itu. "Jujur, sejak santernya klaim kawasan hutan itu, kami petani sawit jadi bulan-bulanan," keluh Gulat.
Divisi Riset DPP Apkasindo, Djono Al-Burhan, MMgt (IntBus), CC. CL, mengatakan, negara ini bisa bertahan dari situasi tekanan ekonomi dunia karena ditopang oleh kelapa sawit dan batubara.
Jika sawit tidak diselamatkan, khususnya yang dikelola petani maka saya yakin, Presiden Jokowi akan berat menekan inflasi secara makro di Indonesia, dan bisa berujung resesi ekonomi.
"Sebab dari berbagai sisi perdagangan, kita minim bahkan minus, hanya sawit yang tetap eksis. Terlampau beresiko tinggi memaksakan regulasi yang justru merugikan masyarakat, terutama petani sawit," katanya.
Dan yang membikin Djono semakin miris, gelombang tekanan asing terhadap Indonesia semakin hari semakin membesar. Sawit dituding perusak hutan, tidak ramah lingkungan dan lainnya, "Padahal kita yang memberi celah kepada mereka masuk berkampanye negatif tentang sawit," ujarnya.
Musabab tudingan ini kata Djono bukan oleh petani. Tapi justru lantaran selama ini ada yang salah pada klaim kawasan hutan itu. Kesalahan ini bukannya diperbaiki, tapi malah dibungkus seolah-olah tidak ada masalah. Sejumlah oknum Non Government Organization (NGO) digandeng pula untuk ikut menutupi kesalahan itu.
Gulat tidak menampik bahwa sejumlah solusi lewat regulasi sudah disodorkan oleh pemerintah terkait klaim kawasan hutan tadi. Tapi bagi Gulat, solusi itu justru sangat merugikan petani. Belum lagi solusi itu kini banyak disalah gunakan oknum untuk jadi bancakan di lapangan.
Lantaran itu kata Gulat, kementerian terkait segeralah menyelesaikan persoalan ini. Bukan malah petani yang memohon-mohon. Sebab seharusnya kementerian itu melayani, bukan dilayani.
"Presiden sudah menegaskan bahwa kepentingan masyarakat menjadi yang utama. Di saat sekaranglah petani butuh, dan ini butuh reaksi cepat dari Kementerian terkait," kata Gulat.
Bukan malah menambah penderitaan petani dengan membikin Draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
"Salah satu poin pentingnya dalam draft tersebut adalah lahan sawit tidak boleh dalam kawasan hutan. Ini sama saja dengan merusak perekonomian petani, karena persoalan petani ya itu tadi masih terjebak dalam kawasan hutan. Kalau tidak punya sertifikat ISPO, sawit tidak akan laku lagi di Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Kalau sempat ini terjadi, saya enggak bisa bayangkan seperti apa dampaknya, ini saling kait mengkait, mengerikan," ujar Gulat.
Bagi petani kata Gulat, selesaikan dulu masalah sawit petani dalam kawasan hutan, baru wajibkan Petani memiliki sertifikat ISPO, jangan sebaliknya, ISPO kan dulu, persoalan di belakang.
"Kenapa saya katakan begitu, sudah jelas persoalan pokok belum selesai, ISPO itu pula yang didahulukan. Kenapa sih kita harus takut dengan tekanan asing? Macam tidak berdaulat saja kita," Gulat terlihat geram.
"Sangat mudah sekali sebenarnya menyelesaikan persoalan petani sawit, enggak butuh dana lho, enggak butuh ketok palu APBN," sindirnya.
Sebelumnya Kepala Departemen Hukum dan Advokasi Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), Abdul Aziz, meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta sejumlah Non Government Organization (NGO) objektif terkait kawasan hutan yang ada di Indonesia.
Sebab status kawasan hutan yang sekarang sedang digembar-gemborkan oleh KLHK, justru telah menimbulkan gaduh, khususnya di masyarakat yang tidak tahu menahu apa itu kawasan hutan.
"Urusan hutan sudah diatur dalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Hakikat kawasan hutan itu kan sehamparan tutupan hutan yang ditetapkan dan dipertahankan keberadaannya sebagai kawasan hutan. Lalu pada pasal 1 ayat 3 UU 41 disebutkan pula bahwa Pengukuhan Kawasan Hutan dilakukan oleh Pemerintah. Terus pada pasal 14 dan 15 disebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan wajib dilakukan untuk mendapatkan kepastian hukum dan pengukuhan kawasan hutan itu dilakukan dalam empat tahapan," urai Aziz.
Adapun empat tahapan itu kata Aziz adalah penunjukan, pemetaan, penataan batas dan penetapan. "Penataan batas ini dilakukan untuk memisahkan antara hak masyarakat dan negara. Jadi hakikat penataan batas itu adalah apabila ditemukan hamparan yang mencirikan hak-hak masyarakat, musti dienclave (dikeluarkan dari hak negara). Lalu hak negara musti dikasi patok atau dipagar. Itu aturan yang dibikin negara," ujar Aziz.
Tapi yang menjadi persoalan sekarang justru kenapa hak-hak masyarakat yang sudah jelas dan bahkan sudah dikuasai berpuluh bahkan ratusan tahun, masih juga diklaim kawasan hutan.
"Di Riau banyak buktinya. Salah satunya ada sekitar 9 desa di Kecamatan Kampar Kiri Hulu yang sampai saat ini ada di kawasan hutan. Belum lagi kebun-kebun petani dan lahan yang secara eksisting sudah tidak hutan, masih diklaim kawasan hutan. Ada enggak KLHK menjalankan aturan bahwa sekali lima tahun kawasan hutan harus diinventarisasi?" Aziz bertanya.
Dari kenyataan itu kata Aziz, ada dua hal yang janggal yang terjadi pada kawasan hutan yang diklaim oleh KLHK. Pertama, patut diduga kalau kawasan hutan itu masih hanya penunjukan. "Berarti secara otomatis, ini belum mempunya kekuatan hukum, sebab kawasan hutan harus dikukuhkan sesuai pasal 15 UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan itu," kata Aziz.
Lalu, jika memang kawasan hutan itu sudah dikukuhkan tapi masih ada juga hak masyarakat di situ, berarti ada yang tidak beres dengan penataan batasnya. "Bisa jadi cuma membikin tata batas di atas meja," ujar Aziz.
Di satu sisi kata Aziz, KLHK mestinya berterimakasih kepada masyarakat khususnya petani kelapa sawit yang sudah memproduksikan kawasan yang selama ini diklaim KLHK sebagai hutan produksi.
"Selama ini kawasan yang diklaim itu tidak produktif. Lalu oleh petani, ditanami sawit. Tapi setelah kawasan itu produktif, justru masyarakat yang dipersalahkan. Dibilang pula menyerobot kawasan hutan," ujar Aziz kesal.
Aziz juga meminta supaya KLHK tidak memunculkan dalil-dalil baru untuk seolah-olah tidak ada masalah di klaim kawasan hutan yang dibikin.
"Semua sudah ada di UU 41 tahun 1999 dan PP 44 tahun 2004. Tapi selama ini tak dijalankan. Sekarang muncul permen dan perpres yang saya pikir hanya ingin membikin pembenaran. Lantaran kesalahan ada di KLHK, konsekwensinya, lepaskan klaim kawasan hutan itu dan pertahankan tutupan hutan yang ada. Jangan malah mengeluarkan izin baru untuk melululantakan hutan dengan dalih izin konsesi," ujar Aziz
Komentar Via Facebook :