Berita / Nusantara /
Apkasindo Setuju Pemprov Riau Tak Keluarkan Izin Buka Perkebunan Sawit Baru
Pekanbaru, Elaeis.co - Organisasi petani kelapa sawit mendukung kebijakan Pemprov Riau yang tidak memberi izin usaha bagi pengusaha yang ingin membuka lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit. Kebijakan itu mengikuti Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018.
Inpres itu berisi tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit.
"Kami dari petani sawit sangat setuju dengan kebijakan Pemprov Riau. Sudah sewajarnya Riau mendapat nilai mafaat dari perkebunan kelapa sawit 4,170 juta hektare di Riau, terluas di Indonesia (25%), jangan hanya menumpang bengkaknya saja," ujar Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Gulat Manurung, kepada Elaeis.co, Jumat (16/7).
Menurut Gulat, permasalahan kawasan hutan itu sudah diatur dengan lahirnya Undang-undang Cipta Kerja dan turunannya. Selain itu, dia juga mengatakan upaya bagi hasil ini harus merangkul semua stakeholder sawit di Riau.
"Baik itu yang tergabung ke GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) maupun yang tidak, termasuk asosiasi petani sawit, seperti Apkasindo, asosiasi sawit Samade dan Aspek PIR," jelasnya.
Gulat menjelaskan, menurut data laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2020), di Riau itu, 80,97% perkebunan sawit dikelola oleh petani sawit, baik dalam bentuk koperasi, kelompok tani maupun perorangan. Sisanya 19,03% yang dikelola oleh korporasi.
"Jadi akan lebih berpeluang jika bahu membahu, Pemprov Riau jangan mikir sendiri," ujar Gulat.
Wakil Gubernur Riau Brigjen TNI (Purn) Edy Natar Nasution, mengatakan pihaknya tidak akan memberikan izin usaha pagi bagi pengusaha yang membuka lahan kebun sawit baru.
"Kita mendukung Inpres tersebut dengan tidak memberikan rekomendasi maupun izin usaha perkebunan dan penyiapan lahan," kata Edy.
Edy menyampaikan, pihaknya komitmen mendukung kebijakan penundaan dan evaluasi perizinan serta peningkatan produktivitas kebun kelapa sawit di Provinsi Riau.
Menurut Edy, dengan terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, diharapkan dapat memberikan arah yang lebih jelas terhadap kasus hutan dan lahan.
"Kita tentu memiliki harapan besar bahwa ke depannya akan memberikan arah yang lebih jelas dan koridor hukum yang tegas, dalam hal penanganan kasus-kasus terutama terkait penyelesaian kasus hutan dan lahan," jelasnya.
Mantan Komandan Korem (Danrem) Wirabima Riau itu juga menyampaikan beberapa saran mengenai kebijakan penundaan dan evaluasi perizinan serta peningkatan produktivitas kebun kelapa sawit.
"Penundaan izin usaha perkebunan itu, hanya diberlakukan terhadap perizinan yang benar-benar merupakan izin baru," ucap alumni Akabri Angkatan Darat 1984 itu.
Namun, penundaan tidak berlaku bagi pelaku usaha yang telah memiliki kebun, namun masih memproses izin usahanya. Pemerintah tetap memproses perizinan yang telah membangun kebun sebelum UU Cipta Kerja berlaku.
Itu sesuai dengan pasal 110 A Undang-Undang Cipta Kerja yang mana telah memiliki perizinan usaha berupa izin lokasi. Begitu juga sebagaimana yang tercantum pada pasal 110 B yaitu belum memiliki perizinan usaha.
"Disarankan untuk tetap bisa diproses perizinan induknya, sampai batas waktu 3 tahun sejak Undang-undang Cipta Kerja ini diberlakukan," jelasnya.
Edy juga mengatakan, pihaknya memperhatikan UU Nomor 23 Tahun 2014 khususnya pada pasal 13 dan 14 mengingat potensi dampak lingkungan yang terjadi di beberapa daerah maka diperlukan atur skema bagi hasil.
"Perlu kiranya diatur skema bagi hasil atas perolehan denda administratif terhadap pemerintah baik provinsi maupun kabupaten dan kota yang ada di wilayah provinsi," tandasnya.
Komentar Via Facebook :