Berita / Nusantara /
Apkasindo Tolak Sawit Jadi Tumbal, Ini Alasannya
Pekanbaru, elaeis.co - Dua bulan belakangan lelaki 37 tahun ini mondar-mandir menyiapkan segala apa yang dibutuhkan untuk menggenjot semua Dewan Pimpinan Daerah DPD Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPD Apkasindo) yang ada di Riau untuk merampungkan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) di masing-masing DPD demi mendukung sebuah komitmen besar; Riau Bebas Api 2020.
Wakilnya Menrizal tak kalah rempong. Bolak balik memelototi group whatsapp dan menelepon banyak orang terkait perkembangan pembentukan Satgas tadi. Padahal Santha Buana dan Menrizal baru dilantik sebagai Ketua dan Sekretaris DPW Apkasindo Riau pertengahan Desember lalu. "Kami memang masih baru menjabat. Tapi itu bukan menjadi halangan bagi kami untuk bergerak cepat," kata Santha seperti dilansir katakabar.com, Selasa (7/1).
Santha mengaku kalau semangatnya terus membuncah lantaran terus disupport oleh Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Medali Emas Manurung. "Beliau selalu memberikan masukan, arahan dan terus memantau perkembangan yang kami lakukan," ujarnya.
Satgas yang sedang digeber oleh DPW Apkasindo tadi adalah bagian dari upaya Apkasindo mendukung komitmen yang dimotori Polda Riau, TNI dan Pemprov Riau terkait Riau Bebas Api 2020 itu. "Kami sangat serius tentang ini. Bahwa kami para petani kelapa sawit, sangat mendukung upaya yang digagas Polda Riau, TNI dan Pemprov Riau. Itulah makanya kami bergegas. Apkasindo akan all out berjibaku membantu Kapolda Riau untuk mencegah karhutla 2020, khususnya di lahan petani Apkasindo," tegasnya.
Apa yang dilakukan oleh Polda Riau cs tadi membikin Gulat teringat dengan apa yang terjadi di Australia. Waktu itu Kepala Pemadam Kebakaran Australia sudah berupaya terus untuk bisa ketemu dengan Perdana Menteri Australia, Scott Morrison. Upaya itu sudah dia lakukan sejak April 2019. Tujuannya cuma satu, melaporkan potensi bencana kebakaran hutan yang bakal terjadi di Australia. Tamu permintaan untuk ketemu Scott selalu ditolak. Alhasil, bencana itu benar-benar terjadi di awal November 2019.
"Inilah bedanya dengan di Indonesia. Rilis BMKG bahwa tahun 2020 Indoensia akan mengalami kemarau lebih panjang, langsung ditanggapi serius oleh semua stakeholder. Mulai dari aparat, pemerintah, masyarakat hingga pelaku usaha sektor kehutanan dan perkebunan langsung berkolaborasi menyikapi potensi yang bakal terjadi akibat kemarau panjang tadi," kata Gulat Selasa (7/1).
Di Riau tadilah kata Gulat. Semua elemen petani, korporasi langsung melakukan koordinasi intensif dan membuat simulasi-simulasi berdasarkan tingkat kerawanan kebakaran yang dipimpin langsung oleh Kapolda Riau, Wakapolda, Irwasda Polda Riau, Dansat Brimob, Karo Ops, Dirkrimsus, Dirintel dan jajarannya.
"Yang semacam ini tentu patut dicontoh oleh provinsi lain, khususnya Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan sebagai provinsi terluas dan terparah kebakaran hutan dan lahan di 2019 lalu," ujarnya.
Tapi sayang kata Gulat. Reaksi cepat yang dilakukan oleh Indonesia khususnya Riau terhadap potensi bencana kebakaran, justru tidak dianggap oleh Non Government Organization (NGO) yang selama ini menghembuskan isu tak sedap tentang Indonesia.
"Kalau ada kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, yang pertama kali disalahkan adalah sawit dan sawit. Sawit juga disebut sebagai penyebab deforestasi. Lalu kebakaran di Australia dan sejumlah negara Eropa itu gara-gara apa dong, sawit juga kah?," Gulat bertanya.
Enggak fair rasanya kata Gulat kalau kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang luasnya tak seberapa dibanding luasan kebakaran hutan di Australia dan negara Eropa lainnya itu, langsung disebut sebagai ulah sawit dan deforestasi.
Lelaki 47 tahun ini pun membikin perbandingan begini; Kebakaran hutan dan lahan di Australia sejak November 2019 tercatat sudah mencapai 12,3 juta hektar dengan suhu terekstrim bulan Desember lalu 42 Derajat Celsius.
Sementara kebakaran di Indonesia di tahun yang sama menurut catatan BNPB seluas 857 ribu hektar. Dr. Anthony Hamzah (Ketua Dewan Pakar DPW Apkasindo Riau) menjelaskan, luas lahan yang terbakar tadi, lahan mineral 630.451 hektar atau 73,5 persen, sisanya gambut.
"Lalu muncul pertanyaan, kenapa selama ini isu yang selalu berkembang bahwa gambutlah sumber utama kebakaran di saat negara lain memanfaatkan gambut sebagai anugerah terindah dari Tuhan untuk budidaya tanaman demi kemakmuran masyarakat dan negaranya?" Gulat kembali bertanya.
Apkasindo kata Gulat ikut prihatin dengan apa yang terjadi di Australia. Kebakaran hutan dan lahan di sana telah merenggut 24 nyawa dan menghancurkan hampir 2.000 rumah. Habitat hewan liar asli di sana seperti kanguru, koala, burung, reptil ikut punah. "Yang saya dengar kebakaran ini menjadi yang terparah dan terekstrim di sana," katanya.
Tapi sesungguhnya kata Gulat, kebakaran yang terjadi di Australia itu bukan oleh perubahan iklim, tapi ulah efek pemanasan global. "Perubahan iklim yang ekstrim telah menjadi penyebab bencana alam yang belum pernah terjadi sebelumnya," ujar Gulat.
"Kebakaran hutan dan lahan akan melepaskan karbon dioksida, gas rumah kaca, ke atmosfer dan gas ini akan memerangkap panas di atmosfer. Alhasil panas ini berdampak lebih parah ke bumi seperti yang terjadi di Australia itu," ujar kandidat doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau ini.
Kebakaran hutan dan lahan di Australia kata Gulat baru berlangsung tiga bulan, tapi kebakaran itu diperkirakan sudah melepaskan 350 juta metrik ton karbon dioksida. Butuh lebih dari satu abad untuk menyerap karbon dioksida itu kembali.
Ulah kebakaran tadi, berbagai upaya super canggih, rekayasa hujan, biaya jutaan USD, dan tenaga manusia sudah dikerahkan demi memadamkan api. Tapi api malah semakin membara. Puncaknya, tetap saja sebagai umat manusia yang ber Tuhan, Australia memanjatkan doa dan harapan supaya Tuhan segera menurunkan hujan sebagai solusi untuk memadamkan api dan menurunkan suhu yang sudah kadung sangat ekstrim.
Dari sederet fakta yang ada tadi, Gulat berharap supaya siapa pun mau cermat menilai bahwa kebakaran hutan dan kebun sawit adalah korban dari ektrimnya iklim seperti yang terjadi di negara-negara lain yang hutan dan lahannya juga sering terbakar.
"Janganlah langsung menghukum sawit, gambut dan mempidanakan petani serta korporasi, apalagi saat ini sawit adalah tonggak penghasil devisa terbesar negara ini. Kita sebagai anak bangsa harus bahu membahu membela sawit Indonesia," pinta auditor ISPO ini serius.
Terkait soal komitmen Riau Bebas Api 2020 tadi, 17 Januari mendatang kata Gulat, Ketua Dewan Pembina DPP Apkasindo, Jend TNI (Purn) DR. Moeldoko bakal ke Riau.
"Ada tugas beliau sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) di Riau. Apkasindo akan memanfaatkan momen ini untuk berkoordinasi dengan DPW/DPD/DPU Apkasindo se-Riau untuk memastikan peran aktif Apkasindo Riau menghadapi musim panas 2020," katanya.
aziz
Komentar Via Facebook :