Berita / Nusantara /
Begini Kelebihan dan Kekurangan Mariles alias Sawit Dura
Jakarta, Elaeis.co - Pemerintah meluncurkan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sejak tahun 2017 untuk meningkatkan produksi tandan buah segar (TBS) petani sawit swadaya. Sejak itu pula produsen kecambah sawit unggul bermunculan dan tumbuh pesat.
Bersamaan dengan itu, kampanye penggunaan kecambah sawit unggul dan berkualitas varietas tenera bergema kencang di industri sawit nasional. Kecambah dan bibit sawit varietas dura semakin terpojok dan dicap abal-abal.
Sawit dura bahkan punya julukan khusus, Mariles alias Marihat leles dan Marjal atau Marihat jalanan. Sebutan itu muncul karena penjualnya mengklaim barang dagangannya adalah produksi Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Marihat, Simalungun, Sumatera Utara. Padahal itu hanya trik untuk menarik minat calon pembeli.
Lantas, seburuk apakah sawit dura sehingga seolah jadi musuh bersama stakeholder sawit nasional?
"Dura dicibir karena kernel atau intinya besar, batok cangkangnya tebal, dan mesocarp atau sabutnya tipis," kata Alex Afero, petani sawit di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, kepada Elaesi.co, Senin (8/11/2021).
Alex mengaku menanam sawit dura di tahun 2005 tanpa sengaja. Lulusan Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Wangsa Manggala Jogjakarta ini justru ditipu penjual bibit saat membulatkan tekadnya menjadi petani sawit.
“Saya beli kecambah sawit dari seseorang yang mengklaim produksi PPKS Marihat, ternyata palsu,” sebutnya.
Namun sebagai sarjana pertanian, Alex tidak menyerah dan tetap merawat kebun sawitnya. Menurutnya, hasil panen sawit dura itu tidak begitu mengecewakan.
"Saya malah bangga dengan sawit abal-abal, karena tandannya besar dan berat. Kalau buah sawit unggul, tak lebih dari 50 kilogram berat tandannya. Itu fakta di lapangan," bebernya.
Ketua Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI), Darmono Taniwiryono, yang dihubungi secara terpisah, juga menilai ada dua hal yang membuat dura kurang disenangi.
"Ada dua dosa dura. Pertama, fat atau rendemennya rendah. Ini karena mesocarp-nya tipis. Dosa kedua, cangkang dura tebal sehingga diklaim bisa menyusahkan mesin pengolah di pabrik kelapa sawit," katanya.
Tetapi Darmono khawatir suara kencang yang menjelek-jelekan sawit dura hanya akal-akalan saja dari pihak tertentu.
Ia mengaku tidak sedang mendukung atau menolak dura maupun tenera. Ia juga menyatakan mendukung penuh program PSR yang digalakkan pemerintah.
“Saya hanya ingin mengungkapkan fakta historis kalau kecambah dura sudah ditanam sejak masa kolonial. Bahkan di Medan pernah ada perusahaan sawit memakai nama dura. PT Dura apa ya, saya lupa nama lengkapnya, yang pasti perusahaan sawit itu benar-benar memproduksinya," ungkapnya.
Disadari atau tidak, kata Darmono, upaya menyingkirkan sawit dura sama saja mewariskan pola pikir kolonial Belanda yang menginginkan buah yang banyak mengandung fat atau rendemen.
"Saya tidak bermaksud menyakiti hati teman-teman di industri sawit kita. Tapi kan selama ini yang mereka produksi mengikutkan apa yang telah diajarkan oleh Belanda, yakni mengutamakan fat atau rendemen yang tinggi dari buah sawit. Dan itu ada di tenera, bukan dura," tegas Darmono.
Komentar Via Facebook :