https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Begini Nasehat Dua Begawan untuk Menjaga Eksistensi Sawit

Begini Nasehat Dua Begawan untuk Menjaga Eksistensi Sawit

Derom Bangun, pencetus Hari Sawit Nasional. Foto: tangkapan layar


Jakarta, Elaeis.co - Indonesia tengah menikmati dampak dari naiknya harga minyak sawit di pasar global. Devisa negara meningkat, kesejahteraan pekerja dan petani sawit semakin baik.

Namun di saat yang sama, serangan terhadap perkebunan dan produk sawit nasional tak kunjung henti.

Melihat kondisi ini, dua begawan sawit nasional, Derom Bangun (81) dan Soedjai Kartasasmita (95), memberikan nasehat kepada para pemangku kepentingan sawit nasional.

Menurut Derom Bangun, Hari Sawit Nasional perlu diperingati agar kita bisa merenung akan apa yang terjadi di masa lalu dan apa yang akan dilakukan di masa depan untuk kemajuan industri sawit nasional.

"Hari Sawit Nasional itu dicetuskan oleh Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) yang saat itu saya menjadi ketua umumnya. Kenapa kita harus membuat Hari Sawit Nasional? Agar kita merenungi masa lalu sawit kita dan membuat yang lebih baik di masa depan," kata Derom pada acara Hari Sawit Nasional dalam Rangka Hari Perkebunan 10 Desember yang diunggah di channel GAPKI IPOA. 

Salah satu perenungan itu, kata Derom, adalah bagaimana cara kita melawan isu negatif yang terus-menerus dihembuskan ke sawit nasional kita. Derom menyarankan agar pemerintah dan pihak terkait mengundang sejumlah peneliti yang memiliki reputasi baik dan berskala internasional untuk melakukan penelitian secara menyeluruh pada hal-hal yang terkait sawit.

Kata dia, penelitian yang utamanya harus dilakukan adalah yang terkait isu miring yang dihembuskan oleh pihak anti sawit, seperti soal deforestasi, emisi gas rumah kaca (GRK), dan penyerapan karbon. 

"Di situ harus kita teliti neraca karbon dan efek GRK yang dihasilkan oleh kelapa sawit. Peneliti dari ITB dan IPB pasti memahami soal ini. Sebab, dalam sawit itu ada yang disebut dengan soal karbon dan emisi GRK. Penelitian itu harus dilakukan tidak hanya untuk tanaman sawit yang baru, melainkan juga sawit yang usia produktif dan tua," kata Derom. 

Dari penelitian itu diharapkan semua pihak bisa tahu berapa neraca total karbon dan efek GRK dari 16,38 juta hektar sawit di Indonesia. Apalagi sering dikesankan oleh pihak tertentu karena saat pemupukan sawit menggunakan nitrogen, misalnya di pupuk urea, terjadi pelepasan gas nitrogen oksida, yang oleh ahli dikatakan nilai pencemarannya 21-23 kali dari pencemaran CO2. 

"Ini juga yang harus diteliti lebih cermat," kata Derom.

Selain itu, ia juga menyarankan agar dilakukan inventarisasi perkembangan industri hilir sawit nasional, termasuk dicatat juga apa saja produk yang ada di Eropa agar kelak bisa diisi oleh produk hilir sawit dari Indonesia. 

Yang tidak kalah penting, kata Derom, di Hari Sawit Nasional juga seharusnya dilakukan analisa SWOT (Strenght, Weakness, Oppurtunity, Treathment atau Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Tindakan) dari industri sawit. Sebab, ujar Derom, belakangan mulai bangkit pesaing-pesaing sawit.

"Contoh di Hari Sawit Nasional 2020, kita belum tahu persis ada yang namanya synthetic palm oil. Belakangan ini hal itu kita dengar dan jadi agenda pembicaraan kita, di mana synthetic palm oil mulai dihasilkan di Amerika Serikat yang didanai oleh Bill Gates dan Jeff Bezos. Ini jadi ancaman bagi industri sawit nasional kita," kata Derom. 

Soejai Kartasasmita menilai industri sawit nasional kini berada di atas Malaysia. Namun keunggulan itu tidak akan ada gunanya kalau kita tidak mengembangkan research and development atau penelitian dan pengembangan sawit. 

"Sebab, harus diketahui kalau India juga akan menanam sawit," kata mantan Direktur PTP VI Pabatu (kini PTPN IV) ini.

Ia mengetahui hal itu dari pidato Perdana Menteri  India Narendra Damodardas Modi saat memperingati Hari Kemerdekaan India pada tanggal 15 Agustus 2021 lalu. Saat itu Modi mengumumkan akan menanam sawit 2,9 juta hektar.

Menurutnya, kebijakan itu akan menggerus pasar CPO Indonesia karena selama ini India adalah pasar terbesar produk turunan sawit asal Indonesia. Yang lebih miris, saat ini India pun mau beralih ke CPO produksi Malaysia karena CPO asal Indonesia harganya mahal.

Yang juga tidak kalah menarik, kata Soedjai, Malaysia sepertinya tidak suka dengan pencapaian Indonesia. Ia mengaku mendapatkan informasi valid kalau Malaysia melakukan praktik intelijen terhadap produk sawit asal Indonesia.

Kata Soedjai, patut diduga kalau Malaysia telah mengirimkan seseorang untuk mencuri serbuk sawit asal Indonesia yang akan digunakan untuk pengembangan varietas sawit yang baru dan lebih unggul. 

"Kita perlu hati-hati akan hal ini. Syukurlah kita punya Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan yang terus intensif mengembangkan sawit. Saya juga bersyukur kalau PPKS Medan juga mengirimkan wakilnya untuk ikut dalam acara di Glasgow Skotlandia kemarin," kata Soedjai.

Penelitian dan pengembangan juga dirasa penting agar sawit tidak tergeser oleh komoditas perkebunan lainnya. Soedjai tidak sembarang bicara. Sesepuh di Museum Perkebunan Medan ini melihat produk perkebunan kopi saat ini telah berhasil menggeser komoditas teh.

Kata dia, dulu selalu ada yang disebut dengan breakfeast tea atau sarapan dengan teh. Namun kini hal itu sudah digantikan oleh kopi. Bahkan banyak generasi milenial sekarang suka akan kopi, bukan teh. "Sawit jangan sampai mengalami apa yang dialami oleh komoditas teh," katanya.

Kepada pemerintah dan pelaku industri sawit, Soedjai juga memberikan nasehat agar memberikan porsi yang besar bagi masyarakat adat atau masyarakat di sekitar perkebunan sawit. Ini perlu dilakukan untuk menepis citra miring terhadap sawit.

Ia lantas menceritakan pengalamannya bertemu dengan anak-anak muda dari berbagai daerah yang berkunjung ke Museum Perkebunan Medan beberapa tahun yang lalu.

Saat itu, usai memaparkan sejarah sawit, ia bertanya siapa yang berminat untuk bekerja di perkebunan sawit. Tidak ada satu pun yang mengacungkan jari. Ia sampai harus bertanya sampai tiga kali, tetap tidak ada yang menjawab.

Saat sesi foto bersama, beberapa anak muda, termasuk dari suku Dayak, curhat tentang sepak terjang perusahaan sawit di daerah asal mereka.

"Mereka mengeluh, perkebunan sawit di kampung mereka menggusur habis lahan adat. Sementara mereka tak mendapatkan manfaat dari perkebunan sawit itu. Hal-hal seperti ini harus mendapat perhatian," pesan Soedjai. 


 

Komentar Via Facebook :