Berita / Internasional /
Biarawati Myanmar Berlutut, Minta Jangan Tangkap Demonstran
Elaeis.co - Sebulan sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu, unjuk rasa di Myanmar terus berlanjut. Bahkan pada akhir pekan kemarin, pasukan keamanan semakin brutal dalam menghadapi para demonstran di berbagai kota di seluruh negeri. Akibatnya dilaporkan sedikitnya 18 orang tewas selama akhir pekan kemarin.
Di tengah memanasnya situasi di kota Yangon pada Minggu (28/2), muncul gambar yang menyentuh hati dari seorang biarawati.
Dalam gambar yang dibagikan Uskup Agung Katolik Roma, Kardinal Charles Maung Bo asal Yangon, biarawati yang diketahui bernama Ann Nu Thawng itu berlutut di hadapan polisi, meminta agar mereka berhenti menangkap para demonstran.
“Hari ini unjuk rasa semakin memanas di seluruh negeri,” tulis Kardinal Charles Maung Bo, dikutip dari akun Twitternya @CardinalMaungBo.
“Polisi sedang menangkap, memukul, dan bahkan menembak orang-orang,” tulisnya.
Suster Ann Nu Thwang kemudian muncul, berjalan menuju pasukan polisi yang sedang berjaga. Sembari menangis, dia kemudian berlutut di depan para polisi.
“Dengan berurai air mata, Suster Ann Nu Thawng memohon dan menghentikan polisi agar berhenti menangkap para pengunjuk rasa. Sekitar 100 pengunjuk rasa bisa melarikan diri dari polisi karena suster tersebut,” jelas Kardinas Charles.
Cuitan tersebut disukai hampir 2 ribu orang dan mendapat ratusan balasan.
“Doaku untuk perdamaian dan rekonlisiasi di Myanmar,” balas salah seorang pengguna Twitter, @marco_svd.
Ada juga pengguna Twitter yang meminta informasi terkait kondiri biarawati tersebut.
“Apakah dia baik-baik saja saat ini?” tulis pengguna Twitter bernama Safira.
PBB melaporkan, sedikitnya 18 orang tewas dalam kekerasan terburuk sejak kudeta militer 1 Februari tersebut pada Minggu. PBB juga menyerukan komunitas internasional untuk bergerak menghentikan penindasan.
Pengunjuk rasa di berbagai titik di Yangon dihadapkan dengan granat setrum, gas air mata dan tembakan di udara, namun gagal membubarkan massa.
Di seluruh negeri, para pengunjuk rasa memakai helm proyek dan perisai wajah saat berhadapan dengan polisi dan tentara yang dilengkapi senjata. Diturunkan juga pasukan dari unit yang terkenal dengan tindakan kerasnya terhadap pemberontak etnis di wilayah perbatasan Myanmar.
Dikutip dari Reuters, Senin (1/3), sejumlah pengunjuk rasa yang terluka dibawa keluar dari Yangon oleh sesama pengunjuk rasa, meninggalkan jejak darah di jalan-jalan, seperti ditunjukkan foto-foto dari media. Satu orang pria tewas setelah tiba di rumah sakit dengan peluru di dadanya, demikian disampaikan salah seorang dokter yang meminta tak disebutkan namanya.
“Pasukan polisi dan militer menghadapi para pengunjuk rasa damai, menggunakan kekuatan mematikan dan kekuatan yang kurang mematikan – menurut informasi terpercaya yang diterima Kantor HAM PBB – menyebabkan sedikitnya 18 orang tewas dan lebih dari 30 terluka,” jelas kantor HAM PBB.
Di antara lima orang yang tewas di Yangon adalah salah satu teknisi jaringan internet, Nyi Nyi Aung Htet Naing, kata para petugas medis. Sehari sebelumnya Naing menanyakan di Facebook perlu berapa nyawa lagi agar PBB turun tangan.
Seorang guru, Tin New Yee tewas setelah polisi membubarkan aksi para guru dengan melemparkan granat setrum. Demikian disampaikan putrinya dan salah seorang rekan gurunya.
Di luar fakultas kedokteran Yangon, para dokter dan mahasiswa yang memakai jas laboratorium putih berhamburan setelah polisi melemparkan granat setrum. Asosiasi medis, Whitecoat Alliance mengatakan lebih dari 50 staf medis ditangkap.
Sementara itu, tiga orang tewas di Dawei, wilayah selatan Myanmar kata seorang politikus Kyaw Min Htike kepada Reuters. Di Mandalay, dua orang dilaporkan tewas, menurut laporan Myanmar Now media dan seorang penduduk. Salah seorang penduduk, Sai Tun mengatakan kepada Reuters, seorang perempuan ditembak di kepala.
Polisi dan juru bicara dewan pemerintahan militer tak menjawab panggilan telepon untuk meminta konfirmasi terkait hal ini.
Sekjen PBB, Antonio Guterres menyerukan anggotanya untuk bertindak lebih.
“Sekjen mendesak komunitas internasional untuk bersama-sama dan mengirim sinyal yang jelas kepada militer bahwa mereka harus menghormati kehendak rakyat Myanmar yang diekspresikan melalui pemilu dan menghentikan penindasan,” jelas juru bicara PBB, Stephane Dujarric.
Merdeka.com
Komentar Via Facebook :