https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Bikin Pasal Bypass, Biar Cepat Tuntas!

Bikin Pasal Bypass, Biar Cepat Tuntas!

Pakar Perhutanan IPB, Sudarsono Soedomo, PhD. Foto: Ist


Jakarta, elaeis.co - Mau pakai undang-undang apapun menyelesaikan persoalan rakyat di kawasan hutan, enggak akan pernah bisa tuntas jika otoritas kehutanan tidak konsisten dengan aturan. 

Buktinya, sejak UU 41 tahun 1999 tentang  Kehutanan dan turunannya, PP 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan ada, rakyat masih juga diteror oleh klaim kawasan hutan.  

Ini terjadi kata Pakar Perhutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Sudarsono Soedomo, lantaran otoritas kehutanan masih membedakan antara definisi dan fakta lapangan tentang kawasan hutan itu. 

"Bagi orang kehutanan, kawasan yang baru ditunjuk sudah dianggap sah, padahal undang-undang mewajibkan kawasan yang ditunjuk itu musti ditata batas dulu, dikeluarkan hak rakyat yang ada, baru disahkan sebagai kawasan hutan," ujar lelaki 64 tahun ini.  

Lantaran tak akan pernah jelas kapan urusan klaim kawasan hutan itu kelar, Sudarsono minta supaya pemerintah membikin pasal bypass, pasal pengakuan sementara atas hak rakyat yang ada di dalam klaim kawasan hutan itu.  

"Mumpung Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait kehutanan sedang digodok, bikin saja itu," pintanya saat berbincang dengan elaeis.co kemarin. 

Pengakuan sementara tadi kata Sudarsono sangat penting biar rakyat bisa segera mengakses sumber daya. "Kalau rakyat itu petani sawit, biar dia bisa mengakses program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR)," katanya. 

Toh juga kata dia, enggak ada kesalahan rakyat di klaim kawasan hutan itu, otoritas kehutanan saja yang lamban menatabatas. 

Kalau misalnya sekarang batas antara kawasan yang ditunjuk dan yang sedang ditatabatas sudah berbeda jauh kata Sudarsono, itu kesalahan otoritas kehutanan. 

"Kenapa enggak dari sejak ditunjuk langsung ditatabatas. Siapapun tahulah kalau makin hari, populasi manusia semakin bertambah, mereka butuh ruang jelajah, ruang hidup," katanya.

Nah, sembari pemerintah menyelesaikan pekerjaan penataan batas hingga pengukuhan itu, masyarakat kata Sudarsono tidak terganggu untuk melanjutkan hidup dan kehidupannya. 

"Kalau dalam 5 tahun pemerintah belum juga bisa menyelesaikan pekerjaannya, pengakuan sementara tadi dipermanenkan saja, biar ada kepastian hukum bagi rakyat," pintanya. 

Lagi-lagi kata Sudarsono, pasal bypass itu enggak melanggar aturan. Sebab otoritas  kehutanan yang justru dari awal melanggar aturan. 

"Di aturan kan ada batas waktu penataan batas kawasan hutan. Waktunya setahun. Kalau lebih dari tenggat itu, berarti melanggar. Kenapa penataan batas musti cepat, biar kawasan yang dibutuhkan segera berkekuatan hukum dan rakyat pun punya kekuatan hukum. Tapi kalau baru sebatas ditunjuk terus, enggak akan pernah ada kekuatan hukumnya," tegas Sudarsono.   

Kalaupun misalnya kawasan yang ditunjuk sudah ditatabatas dan ditetapkan, aturan yang ada justru tidak serta merta mengklaim hak rakyat yang tertinggal di dalam kawasan itu. 

Lelaki ini kemudian menyodorkan bunyi Pasal 22 ayat 2 Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan yang menjadi turunan dari UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Di pasal itu disebut bahwa kalau penataan batas kawasan hutan sudah temu gelang tapi masih ditemukan hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, maka kawasan hutan itu ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak-hak yang ada didalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas yang bersangkutan.  

"Kalau dari dulu pasal itu dijalan, clear. Sekali lagi saya bilang, enggak ada kesalahan rakyat di klaim kawasan hutan itu. Makanya enggak ada istilah terlanjur," ujarnya. 

Oleh kesalahan yang dilakukan otoritas kehutanan tadi kata Sudarsono, jangan pula rakyat yang kebetulan enggak mengerti apa-apa soal hukum, dipaksa ikut langgam kehutanan. 

"Enggak akan kelar-kelar. Ada saja nanti alasannya kenapa lambat. Alasan anggaranlah, inilah. Jangan digantung-gantung nasib rakyat itu," pintanya. 

Dan jangan pula dibuat pasal yang enggak masuk akal. "Di RPP misalnya dibikin denda. Ini maksudnya apa, dasarnya apa? Kalau misalnya rakyat yang ada di klaim kawasan hutan sudah ada sejak 1920, apa mereka harus bayar denda? Kalau ini dipaksakan, pelanggaran konstitusi namanya," ujar Sudarsono. 

Abdul Aziz


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait :