Berita / Nusantara /
Buku Karya Tiga Peneliti ini Gambarkan Bagaimana Ujung dari Konflik Lahan Sawit
Jakarta, elaeis.co - Tiga peneliti masing-masing dari Universitas Andalas, Leiden University, dan Wengeningen University, melakukan penelitian terhadap 150 kasus konflik lahan kelapa sawit antara masyarakat dengan korporasi.
Penelitian tersebut mengungkap berbagai kasus pelanggaran perusahaan kelapa sawit terhadap hak-hak masyarakat atas lahan mereka. Hasil telaah seluruh kasus-kasus tersebut dituangkan dalam buku berjudul “Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit Indonesia” dan dikupas tuntas dalam diskusi bedah buku bersama Departemen Politik dan Pemerintah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (fisipol) UGM pada Senin (21/8).
“Buku ini dimulai dari cerita sembilan desa di Kalimantan Barat. Orang-orang Desa Olak-olak menuntut PT Sintang Raya membayar kompensasi atas tanah mereka. Mereka juga menuntut sebagian tanah dikembalikan. Banyak protes telah dilakukan, mereka berdemonstrasi di depan kantor bupati, gubernur, dan perusahaan, namun yang mereka bawa adalah kehampaan,” ungkap Prof. Afrizal, Guru Besar Sosiologi Universitas Andalas, melalui keterangan resmi UGM, kemarin.
Kasus di Desa Olak-olak sempat menemui titik terang ketika Mahkamah Agung memutuskan bahwa PT Sintang Raya harus mengembalikan 11 hektare lahan masyarakat. Namun putusan tersebut tidak dipenuhi oleh perusahaan hingga menimbulkan konflik berkelanjutan.
Selain Kalimantan Barat, penelitian konflik lahan kelapa sawit ini juga dilakukan di Provinsi Kalimantan Tengah, Riau, dan Sumatera Barat. “Kami mempelajari pola-pola konflik, menelaah cara komunitas memprotes, dan sejauh mana mereka mendapat solusi atas masalah mereka,” paparnya.
Penelitian itu menemukan 99 kasus di mana perusahaan mengambil dan mengelola lahan masyarakat tanpa persetujuan. Muara utama dari kemunculan masalah ini adalah situasi kehampaan hak yang terjadi di tingkat provinsi dan desa.
Penelitian itu juga menemukan fakta bahwa ada 19 kasus perusahaan membangun kebun kelapa sawit di kawasan hutan tanpa izin serta 67 kasus perusahaan tidak membayar kompensasi atas lahan masyarakat. Bahkan, terjadi intimidasi dan kekerasan terhadap orang-orang yang melakukan protes.
“Secara formal, masyarakat jelas memiliki hak terhadap lahan mereka. Perusahaan harus memperoleh persetujuan dan izin sebelum menjadikan lahan masyarakat sebagai perkebunan. Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat berhak atas skema bagi hasil, mengorganisasi diri, dan memprotes. Tapi faktanya, yang terjadi tidak seperti itu,” ucap Guru Besar Wangeningen University & Research, Prof. Otto Hospes.
Dr Maharani Hapsari, pemerhati politik sekaligus Dosen Hubungan Internasional Fisipol UGM turut menanggapi temuan dalam buku tersebut. “Buku ini memotret dengan luar biasa bagaimana keadaan hulu dari produksi kelapa sawit yang merupakan industri besar di Indonesia. Kita tidak bisa mengasumsikan masyarakat itu lemah, cuma seringkali adaptif dan memiliki keteguhan. Bisa dilihat bahwa perjuangan mereka atas tanahnya berlangsung 11 hingga 35 tahun, hampir setengah umur seseorang,” ucapnya.
“Sepanjang pengamatan saya, sepertinya memang strateginya jauh lebih efektif di level domestik dan internal. RSPO (Roundtable on Suistanable Palm Oil) adalah satu mekanisme yang banyak diimpikan tata kelola pemerintah di ranah global. Tapi kalau kita lihat realitasnya, saya kira justru sebaliknya. Semakin lokal perjuangan itu, maka semakin efektif,” tambahnya.
Maharani juga menekankan bahwa hak-hak masyarakat seperti apa yang harus diperjuangkan akan sangat mempengaruhi perkembangan konflik. Menurutnya, banyak perusahaan sawit belum memahami bahwa daya guna usaha juga merupakan hak masyarakat.
“Sekarang kan sudah banyak juga kebijakan yang mendorong hilirisasi industri sawit. Nah, masyarakat juga harusnya memiliki potensi untuk melibatkan diri dalam hilirisasi ini. Kita harus bicara mengenai pendidikan tentang industrialisasi kelapa sawit jika ingin menjadikan industri ini sebagai backbone ekonomi kita,” tukasnya.
Penyelesaian konflik penguasaan atas lahan ini masih memerlukan dorongan dan perundingan yang panjang untuk mencapai keadilan bagi kedua belah pihak. Karena muara persoalan tidak hanya berada pada kepentingan masyarakat saja, namun juga berkaitan dengan kepentingan Indonesia sebagai negara pengekspor minyak sawit dunia.
Komentar Via Facebook :