Berita / Feature /
Butuh Generasi Petarung Sawit Berkelanjutan
Jakarta, elaeis.co - Makin hari kelapa sawit makin kinclong saja, selain jadi gantungan hidup lebih dari 20 juta jiwa, tanaman asli Mauritius Afrika ini juga sudah jadi sumber devisa utama negara.
Belakangan, orang-orang pun semakin mencari tahu bisa dibikin apa saja hasil kelapa sawit itu. Alhasil makin hari turunan kelapa sawit ini pun semakin banyak.
Meski sedang sangat moncer dan sawit akan tetap berjaya, praktisi perkebunan kelapa sawit, Wayan Supadno, justru mengingatkan petani supaya tidak terlena.
Ayah tiga anak ini malah meminta supaya petani mengup-grade pengetahuannya dan menyiapkan generasi penerus yang berkualitas. "Itu jika petani bercita-cita sawitnya berkelanjutan," katanya.
Di keluarganya sendiri kata lelaki 53 tahun ini, yang semacam itu sudah dia terapkan. Sebab dia ingin anak-anaknya meneruskan perjalanan kebun kelapa sawit yang sudah susah payah dia bangun.
"Anak saya saya didik untuk mencintai sawit, mereka kuliah di pertanian, peternakan dan bisnis. Kepada mereka saya selalu bilang, jangan coba-coba bisa dapat duit kuliah kalau enggak tidur di kebun sawit," suara Mayor purnawirawan TNI ini terdengar serius.
Kepada anak-anaknya Wayan terus mencekoki penyadaran diri bahwa uang sekolah, makan dan jajan mereka, bersumber dari sawit.
"Maka jaga dan uruslah sawit itu. Kalau mau hidup enak, enggak pusing, teruskan sawit ini supaya untungnya banyak. Siapkan mental, bermesraanlah dengan para pakar," begitulah pesan Wayan.
"Saya membangun mental mereka supaya jadi petani bermental petarung. Begini jugalah semestinya pemerintah, tidak melulu menyuapi petani tanpa dibarengi edukasi yang inovatif. Dampaknya, petani akan malas, tak jadi petarung," tambahnya.
Tak hanya mental, proses kreatif juga ditanamkan oleh satu dari 11 Inspirator Agribisnis 2014 ini kepada anaknya.
"Tadi sudah saya bilang, ekonomi berkelanjutan melalui ekosistemnya. Ekosistem tak terjaga, ekonomi juga tak akan terjaga," katanya.
Petani Teladan di Masyarakat versi ITS Surabaya mencontohkan Tebu yang dulu tingginya bisa mencapai 3 meter, sekarang sudahlah pendek-pendek, rendemennya pun rendah.
Alhasil, untuk menggenjot Tebu itu biar punya rendemen bagus, Harga Pokok Produksi (HPP) menjadi tinggi.
"Jadinya, harga jual tebu itu minimum Rp9000, sementara orang masih bisa menjual Rp4000. Cengkeh, Kakao dan sederet komoditi lainnya juga begitu. Gimana kita mau bersaing di pasar," ujarnya.
Kalau yang semacam ini tak ingin dirasakan oleh petani sawit kata Wayan, HPP musti bisa dibikin semakin kecil biar kelak, kalau ada gejolak ekonomi global, harga tetap kompetitif.
"Jadi, berapapun harga sawit, apa pun yang terjadi di global, kita tetap untung. Begitulah mustinya. Kalau dari bungkil saja sudah bisa menutupi HPP, atau dari cangkang atau limbah, kan sudah enak. Untung kita bisa banyak. Ini enggak sekadar cerita lho, tapi bisa dicapai," dia meyakinkan.
Komentar Via Facebook :