Berita / Nasional /
Catatan IPOC 2024
Nusa Dua, elaeis.co - Usai sudah perhelatan akbar 20th Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Price Outlook yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, 7-8 November 2024. Menilik pelaksanaannya yang berkelas dan berkualitas, tak berlebihan jika ajang konferensi yang diselenggarakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) itu disandangkan kata “akbar”.
Apalagi konferensi tersebut bertepatan dengan pelaksanaannya yang ke-20. Usia dua dasawarsa jelaslah menunjukkan kematangan serta konsistensi GAPKI dalam mengelola program rutin tahunan yang amat penting bagi para pemangku kepentingan minyak nabati global dan komunitas minyak sawit Indonesia.
Nyatanya memang even tersebut bukanlah kaleng-kaleng. Dari segi jumlah peserta saja membludak, mencapai 1.509 orang dari 24 negara. Peningkatan sponsor tercatat sebesar 16%, melibatkan 37 perusahaan dan 113 stan dengan layout yang menarik. Lokasi acara juga sangat representatif, di Bali International Convention Center, Westin Resort.
Konferensi yang mengusung tema “Memanfaatkan Peluang di Tengah Ketidakpastian Global” itu menampilkan para pembicara beken dan mumpuni di bidangnya, dari dalam negeri dan luar negeri. Mereka membekali diri dengan seabreg data penting yang aktual dan faktual, yang menjadi pijakan kuat dalam membahas permasalahan.
Mencermati itu semua, maka sejatinya ajang strategis yang sudah dilakoni selama dua dasawarsa itu dapat menghasilkan langkah-langkah strategis pula yang kongkrit guna menghadapi tantangan ke depan yang dinilai makin berat. Tidak hanya dari luar negeri, tapi juga di dalam negeri.
Beberapa poin penting yang menjadi catatan, di antaranya, adalah tantangan dari luar negeri yang tidak bisa dianggap enteng. Tantangan itu utamanya kondisi global yang tak menentu yang dapat mengganggu kinerja industri sawit.
Ada pula persoalan inflasi yang melanda banyak negara. Inflasi menyebabkan harga komoditas lebih tinggi, tetapi permintaan dan harga bervariasi karena aktivitas ekonomi global, dinamika rantai pasokan, serta ekspektasi pasar.
Lalu ada perang antara Rusia dengan Ukraina dan konflik di Timur tengah yang masih berlangsung, serta kemajuan produksi minyak nabati global. Peningkatan produksi minyak nabati global, ditambah persaingan tidak sehat—seperti memberlakukan regulasi yang merugikan minyak pesaing--juga merupakan problem serius.
Nafsu Uni Eropa untuk memproteksi diri dari serbuan produk impor melalui European Union Deforestation Regulation (EUDR) -- meski pemberlakuannya ditunda hingga akhir tahun depan berkat berkat lobi-lobi pejabat Indonesia, termasuk Dubes RI untuk Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa, Andri Hadi -- juga menjadi tantangan tidak ringan.
Sebab, regulasi yang berlindung di balik kedok lingkungan tersebut mengharuskan produk-produk yang dijual ke negara-negara anggota Uni Eropa tidak berjejak deforestrasi.
Tercatat ada tujuh komoditas yang terdampak EUDR, yaitu sawit, kayu, karet, kakao, kopi, kedelai, dan ternak. Indonesia sebagai penghasil sawit terbesar sekaligus pengekspor sawit terbesar tentu saja bakal terdampak cukup serius.
Apalagi selama ini ekspor minyak sawit ke Uni Eropa cukup menjadi andalan dan trennya lumayan bagus. Data GAPKI menunjukkan, secara YoY hingga Agustus tahun ini terhadap 2023, ekspor minyak sawit ke Uni Eropa meningkat 29,03%, di saat ekspor ke sejumlah negara importir potensial seperti China, India, Afrika, dan Bangladesh justru menurun.
Artinya, jika nantinya EUDR diberlakukan, dan Indonesia tidak memanfaatkan jeda setahun itu dengan baik untuk bersiap, boleh jadi ekspor minyak sawit ke Uni Eropa berpotensi merosot.
Masih terkait EUDR, seperti disampaikan Ian Suwarganda, Penasehat Bidang Sawit Golden Agri-Resources, yang harus diwaspadai pula adalah potensi regulasi ala Uni Eropa itu dijiplak oleh sejumlah negara seperti Amerika, China, dan India.
Maklumlah, sesungguhnya spirit dari EUDR itu adalah memproteksi produk dalam negeri mereka dengan cara membatasi perdagangan terhadap komoditas tertentu, dengan dalih tersebab berjejak deforestasi atau pun degradasi hutan.
Faktor-faktor dari luar negeri tadi relatif cukup merepotkan untuk dihadapi, terutama jika menyangkut peristiwa besar seperti perang Rusia-Ukraina dan perang di Lebanon. Juga menyangkut kondisi ekonomi suatu negara yang melambat dan dilanda inflasi.
Di sini kita hanya bisa berharap perang segera berakhir, agar dapat memacu kembali perbaikan ekonomi sejumlah negara. Serta yang tak kalah penting, berakhirnya perang dapat menghilangkan gangguan rantai pasokan global.
Dan harapan itu agaknya sedang bertumbuh menyusul terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru. Trump diyakini memenuhi salah satu janji kampanyenya, yaitu akan mengupayakan menghentikan perang Rusia-Ukraina dan perang di Lebanon.
Sehingga, seperti diharapkan Ketua Umum GAPKI Eddy Martono, jika nantinya perang betul-betul berakhir maka akan memungkinkan ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar global meningkat kembali.
Sementara itu, faktor dari dalam negeri seperti sejumlah regulasi yang dirasa sebagai hambatan, juga tidak bisa dinafikan. Justru faktor regulasi yang kontraproduktif harus dibicarakan secara terbuka dengan pengambil kebijakan.
Dalam pidato mengawali pembukaan konferensi, Eddy Martono telah menyinggung pentingnya pengambil kebijakan menghindari regulasi yang kontraproduktif. Memang, Eddy tidak menyebut secara jelas regulasi mana yang dimaksud.
Namun salah satu regulasi yang sedang banyak dibicarakan belakangan ini, yaitu program mandatori biodiesel, boleh jadi termasuk dalam regulasi kontraproduktif. Sebetulnya, tak ada yang salah pada regulasi tersebut, malah justru sangat bagus, selama implementasinya tidak terkesan dipaksakan.
Persoalannya, banyak pihak menilai program tersebut terkesan dipaksakan lantaran baurannya ditingkatkan terus, yang praktis akan makin banyak menyedot minyak sawit, sementara produksi minyak sawit sudah stagnan di kisaran angka 50 juta ton per tahun.
Kondisi ini tentu akan menyebabkan terjadinya “perebutan” pasokan minyak sawit antara kebutuhan biodiesel, pangan, oleokimia, dan ekspor. Pada kondisi ini, eksporlah yang paling rentan untuk dikorbankan.
Seperti diketahui, awal tahun depan sudah dimulai program B40, sebagai ancang-ancang menuju B50. Dalam kalkulasi Gapki, untuk program B40 diperkirakan akan menyedot minyak sawit sebanyak 14 juta ton.
Jumlah ini meningkat signifikan dibanding kebutuhan minyak sawit untuk B35 sebesar 11,6 juta ton. Pada saat yang sama, kebutuhan untuk pangan sebesar 10,3 juta ton.
Kebutuhan minyak sawit untuk B50 tentu lebih besar lagi, yaitu, menurut perkiraan GAPKI, sebanyak 17,5 juta ton. Dalam kaitan menggerus ekspor, B40 diperkirakan akan menurunkan volume ekspor sebesar 2 juta ton. Sedangkan B50 akan menurunkan 6 juta ton. Artinya, devisa ekspor sawit akan terpangkas cukup besar.
Para analis dalam konferensi itu juga telah menyinggung dampak program mandatori biodiesel terhadap harga minyak sawit di pasar global yang diperkirakan bakal melonjak tinggi akibat pasokan berkurang.
Perlu diingat, tak selalu harga jual tinggi itu menguntungkan. Adakalanya justru merugikan karena menurunkan daya saing, yang bisa berakibat konsumer beralih ke barang substitusi yang lebih ekonomis.
Turunnya volume ekspor juga akan mengurangi pendapatan pokok Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dari Pungutan Ekspor sawit. Sementara di sisi lain bebannya untuk mensubsidi biodiesel kian bengkak sejalan meningkatnya bauran.
Kondisi ini bisa mengurangi kemampuan lembaga itu dalam menjalankan program-program lainnya, termasuk peremajaan sawit rakyat (PSR) yang sangat penting bagi peningkatan produktivitas.
Di dalam negeri, harga minyak sawit yang melambung dapat pula menyebabkan melonjaknya harga pangan berbasis sawit seperti minyak goreng, yang berpotensi memicu keresahan masyarakat konsumen.
Sungguh suatu lingkaran yang cukup rumit. Karena itu tidak berlebihan jika para pelaku industri sawit berharap pelaksanaan program biodiesel dengan bauran tinggi agar dapat disesuaikan dengan kondisi riil di hulu yang saat ini belum mendukung.
Komentar Via Facebook :