https://www.elaeis.co

Berita / Internasional /

Cerdiknya Pemerintah Turunkan BK CPO

Cerdiknya Pemerintah Turunkan BK CPO

Direktur Eksekutif PASPI, Dr Tungkot Sipayung


Medan, Elaeis.co - Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan menurunkan bea keluar (BK) produk minyak mentah sawit atau crude palm oil (CPO) untuk periode Agustus 2021. Nilai BK CPO yang ditetapkan, US$ 1.048,62/ton.

Dari laman jdih.kemendag.go.id yang diakses Elaeis.co, Selasa (3/8), disebutkan keputusan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45 Tahun 2021 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) Atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar. 

Bila merujuk pada BK CPO bulan Juli yang mencapai US$ 1.094,15/ton, maka BK CPO kali ini mengalami turun sebesar US$ 45,53 per ton.

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Dr Tungkot Sipayung, menyebutkan kebijakan yang dilakukan pemerintah memang mengikuti harga CPO di pasar global setelah melihat tren pasar CPO per satu bulan.

"Ini adalah hal yang logis sesuai dengan penurunan harga CPO dunia," kata Tungkot.

Walau turun, kata Tungkot, tetap saja nilai BK CPO itu masih di atas harga treshold atau ambang batas yang ditetapkan pemerintah. Dan jika digabung antara bea keluar (BK) dan pungutan ekspor (PE) CPO yang dilakukan badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS), maka terjadi pemangkasan sekitar 25% dari harga referensi. 

Jika semakin banyak ekspor, maka harga CPO dunia semakin turun. Tungkot menyebutkan ini sebagai strategis tahan nafas dan nafsu (untuk mengekspor CPO). Kebijakan ini membuat para pengusaha sawit, terutama yang memiliki refinery, akan memilih untuk mengolah CPO mereka terlebih dahulu untuk kemudian diekspor.

Menurut Tungkot, kebijakan ini menunjukan Indonesia yang merupakan pemilik lahan perkebunan dan produsen sawit terbesar di dunia sedang belajar menjadi pemain inti dan pengendali harga CPO global. 

Tungkot menilai kebijakan ini membikin pengusaha dan petani sawit saling menahan diri dan menjadikan opsi terbaik kedua.

"Opsi pertama adalah free market, jual bebas. Resikonya, harga CPO bisa semakin turun," kata Tungkot.

Free market tentu tidak dikehendaki karena akan berpengaruh pada penurunan harga tandan buah segar (TBS) petani sawit. 

"Kalau harga CPO jatuh, ya harga TBS jatuh, dan yang paling terkena adalah petani swadaya. Jadi, sebenarnya dengan kebijakan ini pemerintah juga sedang menjaga petani sawit," kata Tungkot.

Tungkot mengatakan, tidak mungkin harga CPO global terus-terusan berada dalam posisi yang tinggi. Namun di saat yang sama, jangan sampai harga CPO global di bawah US$ 800 per ton.

"Dengan kebijakan ini kita bisa pertahankan harga CPO antara US$ 1500 sampai US$ 2000 per ton CPO untuk jangka panjang," kata Tungkot.

Jika strategi itu bisa terwujud, Tungkot menyebut hal ini sudah sangat menguntungkan bagi petani. Selain itu, kebijakan itu juga bisa memaksa pengusaha sawit untuk mengolah CPO ke refinery milik mereka untuk diciptaan sejumlah produk lalu diekspor.

"Kalau CPO sudah masuk refinery, maka akan keluar sejumlah produk turunan, walau yang sangat sederhana sekali pun.Dan pengusaha tetap untung. Jadi, kebijakan ini cerdik dan strategis," tegas Tungkot Sipayung.

Komentar Via Facebook :