Berita / Serba-Serbi /
Cerita Cogen di Blok Rokan
Pekanbaru,
Elaeis.co-Persoalan pembangkit listrik berteknologi Cogeneration (Cogen) berkapasitas 300 MW di Duri Kabupaten Bengkalis yang
selama ini dipakai untuk menopang produksi PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI),
belum juga kelar.
Itulah
yang membikin Abdul Wahid gusar, bagaimana tidak, tenggat waktu pergantian
pengelola konsesi tambang minyak dan gas Blok Rokan di Provinsi Riau hanya tinggal
menyisakan waktu enam bulan lagi, tapi sampai saat ini belum juga menunujukkan
tanda-tanda bakalan kelar.
Yang
kian membikin anggota Panja Migas ini semakin gusar, sudahlah belum kelar, terdengar
kabar kalau pengelolaan pembangkit yang selama ini dikelola oleh PT. Mandau
Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) itu sedang ditenderkan di Amerika Serikat.
"Saya sudah minta tender itu distop dulu, diserahkan saja ke Negara pembangkit itu. Tapi enggak mau. Alasannya, pembangkit itu bukan milik Chevron," rutuk pria 41 tahun ini.
Teknologi Cogen sendiri adalah teknologi yang mengubah gas dan feedwater menjadi tenaga listrik dan uap.
Anggota
Komisi VII DPR RI ini pun sudah mendesak Pemprov Riau untuk menyurati
pemerintah pusat supaya pembangkit itu dihibahkan dan dikelola oleh Pemprov
Riau.
"Regulasinya
memungkinkan kok untuk itu, bisa dihibahkan. Masak sudah 90 tahun Chevron
beroperasi di Riau, enggak ada kenang-kenangan," kata Sekretaris bidang
Pendidikan dan pesantren DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini seperti
dilansir gatra.com di Pekanbaru,
kemarin.
Malah
bakalan jadi sumber pendapatan baru juga Kalau Pemprov Riau yang mengelola
pembangkit itu kata Wahid. Sebab saban tahun pembangkit tadi menghasilkan duit
sekitar Rp2 triliun. “Taruhlah
biaya operasional Rp1 triliun, masih ada untung setengahnya,” ujar lelaki asal
Indragiri Hilir ini menghitung.
Hanya
saja kata mantan anggota DPRD Riau ini, ia ingin operasional pembangkit itu diaudit
mendalam dulu, sebelum pembangkit tadi dimanfaatkan oleh Pertamina sebagai
pengelola baru Blok Rokan.
"Termasuk
membeli gas kepentingan pembangkit itu dari Conoco Phillip, juga sedari awal semua pekerja di MCTN itu
ditanggung lewat Cost Recovery (CR). Ini enggak bener meski tahun 2017 ketahuan, pola
ini kemudian dirobah, hitung sewa saja. Artinya segala operasional perusahaan
pengelola pembangkit, ditanggung sendiri," kata Ketua DPW PKB Riau ini.
Meski
sudah dirobah kata Wahid, dia meminta supaya penyimpangan selama rentang waktu
tanggungan CR tadi diusut.
"Saya
menduga ada praktik korupsi besar-besaran di sini menguras uang negara. Bisa
saja ada orang-orang dalam pemerintahan bermain. Jadi, Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) audit lagi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelidiki,"
pintanya.
Sebetulnya
apa yang diduga oleh anggota Badan Legislasi DPR RI ini wajar-wajar saja, sebab
sejak awal pembangkit itu mulai dibangun, BPK juga sudah mengendus
ketidakberesan.
Dalam
dokumen hasil audit BPK atas PT. CPI medio 2006 yang diperoleh dari gatra.com disebutkan bahwa telah terjadi kerugian negara
sekitar US$210 juta dan berpotensi merugikan Negara sekitar US$1,233 miliar
atas aktivitas Cogen itu.
Kerugian
US$210 juta itu didapat dari total US%400 juta tagihan listrik yang sudah
dibayarkan oleh Negara kepada CPI dikurang ongkos membangun instalasi Cogan sebesar US$190
juta.
Tagihan
itu dianggap terlalu besar. PLN saja membeli listrik dari swasta di saat itu
hanya 4,5 sen dollar. Sementara listrik yang harus dibayarkan PT. CPI ke PT. MCTN
antara 7 sen dollar -11,85 sen dollar.
Lantas
soal potensi Negara akan merugi sekitar US$1,233 miliar itu terjadi akibat
kesepakatan kerjasama Pertamina-Badan Pembinaan Pengusahaan Kontraktor Asing
(BPPKA) dan PT.CPI.
Di
kerjasama berupa Energy Service
Agreement (ESA) dengan
PT. MCTN tertanggal 1 Oktober 1998 disebut bahwa PT. MCTN akan mengelola
instalasi Cogen itu sampai tahun 2021, persis saat kontrak karya CPI
berakhir.
Pelaksaan
di lapangan, tidak MCTN langsung yang mengelola instalasi itu, tapi Amoseas Indonesia Inc yang sahamnya juga milik Chevron Corp.
Celakanya,
meski potensi kerugian sampai 2021 mencapai segitu, dalam ESA tadi disebutkan
bahwa sampai kontrak berakhir, instalasi Cogen itu tetap
milik PT. MCTN.
Soal
pembangunan instalasi Cogen senilai US$190 juta itu, sebenarnya BPK juga tak
berterima. Sebab PT. MCTN ditunjuk langsung oleh PT.CPI membangun instalasi
itu.
Soalnya
kata BPK dalam auditnya itu, pengadaan barang dan jasa yang nilainya lebih
besar dari Rp20 milyar atau US$20 juta --- saat itu kurs mata uang rupiah
dengan dolar Amerika Rp10 ribu --- harus melalui tender.
Sudahlah
begitu, setelah diselidiki, 95% saham PT. MCTN itu ternyata milik Chevron Corp, sementara 100% saham PT.CPI milik Chevron Corp juga.
Ini
ketahuan dari akta pendirian PT. MCTN No 317 tanggal 27 Agustus 1998 dengan
Notaris Haji Muhammad Afdal Gazali yang kemudian diubah pada Akte Notaris Haji
Parlindungan Lumban Tobing No. 10 tanggal 16 Agustus 1999.
Di
akta itu disebutkan bahwa komposisi kepemilikan saham PT MCTN; 47,5% Chevron Inc, 47,5% Texaco Inc dan 5% PT
Nusagalih Nusantara.
Tahun
2001, Chevron dan Texaco merger menjadi Chevron Corp. Alhasil kepemilikan PT MCTN menjadi
95% oleh Chevron dan 5% PT Nusagalih Nusantara.
Ada
pun cikal bakal pembangunan Cogen ini kata
PT.CPI dalam hasil audit itu lantaran pasokan listrik dan uap dari tiga power
plant miliknya sudah tak mumpuni lagi. Jadi dibutuhkan pembangkit yang bisa
menyuplai listrik sebesar 300 MW dan uap 3140 MMBtu/h.
PT.
CPI juga mengklaim kalau penunjukan langsung itu dilakukan lantaran kebutuhan
listrik sudah mendesak demi memenuhi target peningkatan produksi minyak.
Lantas
MCTN sendiri di dukung oleh C&T yang memiliki teknologi dan pengalaman
dalam mengoperasikan
teknologi cogen dengan tingkat keandalan tinggi, efektif dan effisien.
Hanya
saja BPK menengok, meski Cogen itu sudah beroperasi, tak ada peningkatan
produksi PT. CPI di rentang waktu 2000-2006, yang ada justru terus menukik.
"Jadi tak salah lah kalau
saya meminta persoalan Cogen ini benar-benar diaudit," Wahid menegaskan.
Komentar Via Facebook :