Berita / Feature /
Cerita Kawasan Hutan dan Aroma Cuan
Jakarta, elaeis.co - Obrolan panjang itu masih pada topik yang sama; kawasan hutan. Status yang selama beberapa tahun belakangan jadi momok di Nusantara.
Status yang belakangan disebut juga menjadi ruang bagi banyak kepentingan yang berseliweran. Mulai dari aroma Cuan atas permohonan pelepasan kawasan, hingga rakyat yang seolah-olah musuh besar kehutanan.
Oleh dua aroma inilah makanya Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Sudarsono Soedomo tak yakin kalau persoalan klaim kawasan hutan di Indonesia bakal beres hanya di level menteri.
Baca juga: Anggota Komisi IV DPR Ini 'Telanjangi' KLHK
Bahkan walau saat ini sederet Peraturan Pemerintah yang lahir dari rahim Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja sudah ada kata, itu kata Sudarsono tidak akan menyelesaikan masalah.
"Sebab substansi penyelesaiannya enggak nyambung. Misalnya di PP23 2021. Sudah jelas kawasan hutan itu adalah yang sudah dikukuhkan, eh acuan yang ada malah sebelum dan sesudah ditunjuk. Ini jugalah yang menandakan bahwa kehutanan itu memusuhi rakyat," kata lelaki 64 tahun ini saat berbincang dengan elaeis.co, kemarin malam.
Kalau cuma level menteri yang menyelesaikan kata Sudarsono, enggak bakal bisa. Soalnya bakal selalu ewuh pakewuh dengan kementerian lain. Birokrasi di perhutanan kta Sudarsono sudah sangat parah. Kabupaten tidak boleh bikin Dinas Kehutanan.
"Lha, kalau rakyat di satu kabupaten banyak punya hutan dan perlu bimbingan, apa salahnya kalau Pemda menyediakan jasanya melalui dinas kehutanan. Kenapa di kabupaten dinas kehutanan dilarang? Itu lantaran mikirnya soal izin atau kekuasaan, bukan soal pelayanan kepada masyarakat. Selama jalan pikirannya masih seperti itu, rakyat tetap musuh besar kehutanan," ujarnya.
"Kalau saja ada gubernur yang berani memulai dengan meniadakan dinas kehutanan untuk menunjukkan kalau kehutanan itu tidak penting di daerahnya, itu sudah akan lumayan bikin kaget," tambahnya.
Sudarsono juga menyoroti apakah kehutanan bagian dari pertanian? "Pertanian itu disebut juga agriculture. Kultur tentang agri atau pertanian. Budayatani lah gampangnya. Namanya budaya pasti tentang manusia yg bermasyarakat," katanya.
Jadi, tidak ada istilah pertanian sosial, peternakan sosial, perikanan sosial, dan perkebunan sosial. Sebab itu tadi, pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan itu sudah pasti sosial.
"Kenapa ada istilah perhutanan sosial? Ya karena kehutanan itu memang anti sosial. Coba lihat papernya Peter Glueck tentang scientific forestry," Sudarsono mencontohkan
Sekarang kata Sudarsono, semua tergantung Presiden atau Wakil Presiden. Apakah bisa secepatnya turun tangan atau malah menunda.
Baca juga: Ketua Komisi IV DPR: Manggala Penyebab Alam Indonesia Rusak!
"Kalau ditunda terus, tunggu saja revolusi. Sebab biasanya persoalan tanah ini akan berujung pada revolusi," tegasnya.
Dalam sederet Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi IV DPR RI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memang terus menjadi sorotan. Bahkan berkali-kali Ketua Komisi IV DPR, Sudin menyebut sudah malas berurusan dengan KLHK.
Sudin bahkan terang-terangan menyoroti soal jutaan hektar kebun kelapa sawit milik korporasi yang tak jelas juntrungannya.
"Di Kalteng saja sudah diakui oleh Gakkum 3 juta lebih, maupun oleh Dirjen Planologi tanpa pelepasan. Bahkan saya sama Dirjen Gakkum meninjau langsung beberapa perusahaan, termasuk perusahaan asing milik Malaysia, tidak ada izin, tidak ada pelepasan, tetapi ada pabrik. Diam saja. LHK semua diam," rutuk Sudin saat menggelar RDP dengan Sekjen KLHK Bambang Hendroyono bulan lalu.
Pada 30 Maret 2021, RDP digelar lagi. Kali itu dengan Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Ruanda Agung Sugardiman.
Di RDP itu, lagi-lagi Sudin mencecar KLHK dengan persoalan 400 kontainer tangkapan kayu Merbau di Surabaya, termasuk juga persoalan hutan lindung mangrove di Batam Kepulauan Riau.
Sangking jengkelnya, Sudin malah menyebut bahwa yang merusak alam Indonesia itu sebahagian besar adalah kontribusi dari Manggala.
Komentar Via Facebook :