https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Cerita 'Penumpang Gelap' dan Aturan 'Siluman' PSR

Cerita

Ketua DPW Apkasindo Sumut, Gus Dalhari Harahap. Foto: Ist


Medan, elaeis.co - Semula syarat agar petani kelapa sawit bisa ikut program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), dibikin 14. 

Menengok syarat sebanyak itu, para petani kampung sontak kelimpungan. Akibatnya, saat itu program PSR nyaris berjalan di tempat.

Seiring waktu, syarat-syarat tadi dipangkas hingga tinggal dua; legalitas lahan dan kelembagaan petani (salah satunya kelompok tani). 

Itulah makanya di mana-mana para petinggi yang terlibat dalam program prioritas Presiden Jokowi ini mengklaim kemudahan itu.

Tapi di Aceh Nangroe Darussalam dan Sumatera Utara (Sumut), dua syarat itu tak cukup untuk memuluskan usulan PSR mereka.

Rekomendasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) cq Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), musti ada. 

Celakanya, aturan ini tak ada dibikin tertulis. Sudahlah tidak tertulis, yang mengurus dua rekomendasi ini bukan pula dinas pertanian atau dinas perkebunan setempat, tapi justru petani sendiri. 

Alhasil, selain butuh waktu lama, para petani harus merogoh kocek Rp100 ribu perhektar untuk tiap rekomendasi yang dikeluarkan oleh instansi plat merah itu. 

Kenyataan ini bertolak belakang dengan apa yang dibilang oleh Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Kementerian Pertanian, Heru Tri Widarto.

Dia mengatakan kalau yang berurusan dengan BPN maupun KLHK adalah dinas pertanian atau dinas perkebunan setempat, bukan petaninya. 

Sebab urusan itu masuk dalam poin verfikasi yang dilakukan dinas sebelum berkas petani dikirim ke provinsi. 

Ketua DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumatera Utara, Gus Dalhari Harahap cerita, dua syarat tadi muncul setelah sebelumnya ditemukan ada lahan masyarakat di Aceh tumpang tindih dengan izin perusahaan. 

"Alasan tumpang tindih ini tak masuk akal. Sebab petani sudah puluhan tahun mengusahai lahannya. Giliran sawit petani mau peremajaan, tiba-tiba muncul izin perusahaan dan petani dikambinghitamkan. Ini kan aneh," kata lelaki 50 tahun ini saat berbincang dengan elaeis.co, Selasa (9/3). 

Gus mengaku tak habis pikir, setelah BPN dan BPKH turut campur, verifikasi lahan petani tidak lagi hanya pada sumber masalah tumpang tindih tadi, tapi sudah merembet ke peryaratan non gambut. 

"Sawit yang berada di lahan gambut, tidak boleh lagi ditanami sawit. Ada apa ini? Sawitnya sudah mau replanting kok baru sekarang cerita gambut?" Gus jengkel.

Apa yang dibilang Gus tadi memang nampak dalam 14 lembar dokumen yang dikeluarkan oleh BPN Perwakilan Kota Subulussalam Provinsi Aceh Nangroe Darussalam yang dia sodorkan kepada elaeis.co

Pada lembar yang diteken oleh Kepala BPN Perwakilan Kota Subulussalam, Heriansyah itu disebutkan bahwa dari 171,972 hektar lahan Koperasi Serba Usaha Tedoh Hate, hanya 145,391 hektar yang boleh menjalani peremajaan. Sisanya tidak sesuai. 

Heri tidak menjelaskan apa dan kenapa sisa lahan itu tidak sesuai. Hanya keterangan lahan bergambut saja yang mencerminkan ketidaksesuaian itu. 

Dan berdasarkan surat Heri itu pula, Dinas Pertanian Perkebunan dan Perikanan Kota Subulussalam mengeluarkan surat keterangan. 

Di surat yang diteken oleh Kadis Pertanian Perkebunan dan Perikanan Kota Subulussalam, Sulisman,  disebutkan bahwa lahan yang bisa direkomendasikan hanya 145,391 hektar. Lagi-lagi tanpa keterangan detil, kenapa hanya segitu lahan yang boleh.  

Apa yang terjadi di Subulussalam ini ternyata sudah merembet ke Langkat dan Labuhanbatu Utara, Sumut. Para petani kelapa sawit yang ikut PSR harus mengantongi rekomendasi BPN dan BPKH. 

Kalau dua rekomendasi itu tidak ada, dinas pertanian atau perkebunan setempat, tidak akan mengeluarkan rekomendasi. 

Mendengar cerita seperti itu, Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung nampak kesal. "Wadduh, syarat apa lagi itu?," dia bertanya.

Mestinya kata Gulat, syarat semacam ini enggak akan merepotkan petani jika selama ini ada paduserasi lintas instansi (dinas pertanian/perkebunan-BPN-KLHK).

"Saya minta jangan sampai ada 'penumpang gelap' di program PSR ini. Jangan korbankan petani demi mendapatkan data yang notabene itu enggak ada urusannya dengan petani," ujar Gulat.  

DPP Apkasindo kata Gulat akan segera berkoordinasi dengan Kantor Staf Presiden (KSP), sebagai koordinator Reforma Agraria Nasional. 

"Ini harus diluruskan. Kasihan Presiden Jokowi yang pontang-panting menggeber program PSR, sementara  bawahannya enggak mendukung dan bahkan enggak mengerti roh PSR itu," katanya. 

Asal tahu saja kata Gulat, roh PSR itu adalah intensifikasi. Dari istilah ini mestinya bisa dipahami bahwa petani tidak menambah lahan, tapi mengoptimalkan lahan yang sudah ada melalui PSR untuk meningkatkan produktivitas. 

"Kalau para petani tani menyodorkan lahannya untuk penanaman sawit baru --- tidak replanting --- boleh lah diperlakukan begitu. Ini peremajaan lho. Berarti lahan itu sudah sejak lama diusahai petani. Kenapa sekarang baru dipersoalkan ini itunya!" Gulat kesal.

Sampai saat ini, persoalan yang terjadi di Aceh dan Sumut  kata Gulat, belum merembet ke provinsi lain. "DPP Apkasindo akan segera berkoordinasi ke 144 DPD Kabupaten Kota melalui 22 DPW provinsi Apkasindo terkait persoalan ini," ujarnya. 

Kepala Dinas Perkebunan Sumut, Lies Handayani Siregar tak menampik dua rekomenasi tadi harus dimiliki oleh petani sawit yang akan ikut PSR.

"Soalnya dari hasil audit BPK, ada temuan bahwa setelah dana hibah PSR petani cair, ternyata lahannya tumpang tindih dengan perusahaan. Akhirnya uang itu harus dikembalikan. Nah biar persoalan semacam ini enggak terulanglah makanya musti ada rekomendasi itu," katanya seperti dilansir Gatra.com, Selasa (9/3).

Hanya saja Lies tak mau kalau pihaknya  disebut membiarkan petani mengurus sendiri rekomendasi itu. "Kami Surati kok BPN dan BPKH," ujarnya. 


 

Komentar Via Facebook :