Berita / Nasional /
Coaching Clinic Pasal 110A dan 110B Digelar di Pekanbaru. Muncul Syarat 'Komitmen'. Ini Sederet Pertanyaan Pakar
Pekanbaru, elaeis.co - Tenggat waktu mereka yang kebun sawitnya berada dalam klaim kawasan hutan untuk menguras kocek dalam-dalam, semakin dekat.
Ini ketahuan setelah hari ini dan besok, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono menggelar coaching clinic bertajuk Penyelesaian Perkebunan Kelapa Sawit yang telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan, di Grand Zuri Hotel di kawasan jalan Teuku Umur, Pekanbaru, Riau.
Ada 11 halaman paparan lelaki 59 tahun ini pada coaching clinic itu dan diberi judul; Progres Penyelesaian Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Riau.
Dia tidak sendirian di sana, ada orang dari Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, KPK, yang tergabung dalam Satgas Sawit. Ada juga 100-an perwakilan perusahaan yang ada di Riau.
Tak ada hal baru yang disampaikan Bambang di sana. Masih seputar pasal 110A --- memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan serta sesuai tata ruang yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang --- dan 110B --- tanpa memiliki perizinan pelepasan dan berada dalam kawasan hutan.
Bedanya, penyampaian dua pasal ini sudah semakin mengerucut. Maklum, batas waktu penyelesaian keterlanjuran sawit dalam kawasan hutan tinggal hitungan hari; 2 November 2023.
Baca juga: Selamat Datang di 'Jebakan Batman' SK DATIN
Dalam paparannya itu, Bambang menjelaskan bahwa mereka yang masuk pada Pasal 110B, setelah menyelesaikan denda administratif, yang kebunnya berada di Hutan Produksi, akan mendapatkan persetujuan penggunaan kawasan hutan satu daur atau 25 tahun sejak masa tanam kelapa sawit.
Namun bagi yang di hutan lindung atau konservasi, diwajibkan mengembalikan kawasan hutan kepada negara dan membayar biaya pemulihan ekosistem.
Yang menjadi semakin menarik itu justru bagi mereka yang masuk pada penyelesaian menggunakan pasal 110A. Di pasal ini, lahan kebun sawit di kawasan hutan produksi akan dilepas dengan catatan harus menyelesaikan komitmen dan teknis administrasi.
Adapun komitmen itu antara lain; persetujuan lingkungan, menyelesaian perizinan berusaha di bidangnya, tata batas, membayar PSDH-DR, bembayar PNBP pelepasan di HP, penggantian biaya investasi kepada pengelola kawasan dan mengamankan kawasan hutan yang akan dilepas.
Sementara teknis dan administrasi meliputi; Identitas pemohon, peta areal dimohon dengan skala 1:50.000 da, NIB, STDB/IUP, izin lokasi, pertimbangan Gubernur, peta citra penginderaan jauh resl min 5 m liputan 1 tahun terakhir dan pakta integritas.
Namun jika lahan itu berada di kawasan hutan lindung atau konservasi, hanya diberikan kesempatan 15 tahun sejak masa tanam sawit.
Pakar Hukum Kehutanan yang juga pengajar ilmu hukum di Universitas Al-Azhar Jakarta, Dr. Sadino masih melontarkan sederet pertanyaan kepada KLHK.
Pertama, apa dasar KLHK memasukkan kebun-kebun sawit dalam Surat Keputusan Data dan Informasi (SK-DATIN) kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan yang saat ini sudah mencapai 15 SK itu.
"Kedua, Hak Atas Tanah seperti SHM dan lainnya bukan kawasan hutan enggak perlu tunduk pada pasal 110A atau 110B itu," katanya kepada elaeis.co tadi sore.
Ketiga, tahap mana mengklaim kawasan hutan itu, keempat, apa boleh menerapkan sanksi PNBP berlaku surut? Kelima, PSDH dan DR itu acuannya UU 41/1999 liat penjelasan pasal 35 dan keenam, mestinya yang membayar PSDH dan DR itu yang mengambil kayu.
Komentar Via Facebook :