Berita / Bisnis /
Dampaknya Lebih Besar, Kemenperin Perkuat Hilirisasi Industri
Jakarta, Elaeis.co - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) fokus untuk menjalankan kebijakan hilirisasi industri karena memberikan dampak yang luas bagi perekonomian nasional. Efek positif itu antara lain meningkatkan nilai tambah bahan baku lokal, menambah tenaga kerja, dan menghasilkan devisa dari ekspor.
“Salah satu program prioritas Bapak Presiden Joko Widodo adalah transformasi ekonomi dari sumber daya alam menjadi industri bernilai tambah. Diharapkan Indonesia tidak lagi menjadi negara pengekspor bahan mentah, tetapi produk jadi atau barang setengah jadi,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, seperti dikutip Medcom.id, kemarin.
Dari Januari hingga Mei tahun ini kinerja ekspor sektor industri pengolahan tercatat sebesar USD 66,70 miliar atau naik 30,53 persen dari periode yang sama di 2020. Industri pengolahan memberikan kontribusi paling tinggi, yakni 79,42 persen dari total ekspor nasional yang menembus USD 83,99 miliar selama lima bulan ini.
Besarnya proporsi ekspor produk industri pengolahan sekaligus menggambarkan bahwa telah terjadi pergeseran ekspor Indonesia, dari komoditas primer menjadi produk manufaktur yang bernilai tambah tinggi.
Pada Mei 2021, sektor industri makanan kembali menjadi penyumbang devisa terbesar dari ekspor industri pengolahan non-migas, yaitu sebesar USD 3,25 miliar. Kemudian diikuti oleh sektor logam dasar (USD 2,34 miliar), bahan kimia dan barang dari bahan kimia (USD 1,49 miliar), komputer barang elektronik dan optik (USD 633,9 juta), serta kertas dan barang dari kertas (USD 580,6 juta).
“Jika dilihat dari faktor pembentuknya, nilai ekspor sektor industri makanan pada bulan Mei 2021 didominasi oleh komoditas minyak kelapa sawit sebesar USD 2,25 miliar, atau memberi kontribusi sebesar 69,13 persen. Naik dibandingkan bulan April 2021 yang mencapai 61,67 persen,” paparnya.
Menurut Agus, telah terjadi peningkatan kapasitas produksi industri pengolahan kelapa sawit dan turunannya, yaitu produk minyak goreng sawit, lemak padatan pangan, bahan kimia, bahan bakar terbarukan/Biodiesel FAME, dan material canggih substitusi petro-based material.
Pada 2010, perbandingan rasio ekspor bahan baku dengan produk turunan, yakni 80 persen berbanding 20 persen. Sedangkan tahun ini, perbandingannya menjadi 12 persen berbanding 88 persen. Hal ini diklaim menjadi indikator keberhasilan program hilirisasi industri.
“Ekspor bahan baku CPO/CPKO berkurang karena diproses dan diekspor sebagai produk hilir, termasuk bahan baku Biodiesel Program B30. Indonesia telah bertransformasi tidak hanya mengandalkan ekspor komoditas mentah CPO/CPKO, tetapi menjadi pengekspor produk hilir bernilai tambah,” jelasnya.
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim menambahkan, pada periode 2020, sektor industri hilir minyak sawit menunjukkan kinerja produksi dan ekspor yang tinggi. Nilai ekspornya mencapai USD 22,73 miliar. Ekspor bahan baku CPO juga berkurang karena diproses dan diekspor sebagai bahan baku Biodiesel Program B30.
“Program hilirisasi industri minyak sawit merupakan salah satu contoh sukses industrialisasi sumber daya alam yang menciptakan nilai tambah di dalam negeri, sekaligus menjadi andalan devisa negara,” sebutnya.
Ia menjelaskan, komoditas kelapa sawit dan minyak kelapa sawit semakin digemari pasar global untuk keperluan 6F: Food (pangan), Fuel (Bahan bakar terbarukan), Fine Chemical (sabun dan personal wash), Fito-nutrient (vitamin dan nutrisi), Feed (pakan ternak), dan Fiber (serat untuk material baru).
“Indonesia telah mengembangkan industri hilir untuk mengolah minyak sawit menjadi aneka produk hilir bernilai tambah tinggi,” tutup Rochim.
Komentar Via Facebook :