https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Debat Sawit Tanaman Hutan atau Bukan Disarankan Diselesaikan di Pengadilan

Debat Sawit Tanaman Hutan atau Bukan Disarankan Diselesaikan di Pengadilan

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Sudarsono. Foto: Ist.


Jakarta, elaeis.co - Tak butuh waktu lama, pernyataan pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait sawit bukan tanaman hutan dan penyelesaian kebun sawit di dalam kawasan hutan langsung direspon pakar dan aktivis.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Sudarsono, saat ditanya melalui aplikasi pesan singkat, memberi komentar pendek namun menohok.

"Tenang saja, kan masih ada pengadilan," sebutnya kepada elaeis.co, Senin (7/2/2022).

Menurutnya, polemik sawit apakah termasuk tanaman hutan atau bukan sama dengan perdebatan tomat apakah termasuk vegetable atau fruit (sayur-sayuran atau buah -red) yang pernah terjadi di Amerika Serikat.

"Perdebatan itu akhirnya diputuskan oleh Supreme Court atau Mahkamah Agung Amerika Serikat. Kita coba dengan sawit yuk," tulisnya di pesan singkat sambil membubuhkan emoticon ketawa.

Sekadar mengingatkan, pada tahun 2017 lalu Mahkamah Agung di negeri Paman Sam menerima gugatan dari kalangan importir yang kesal karena dikenakan pajak sebesar 10 persen terhadap tomat yang diklasifikasikan sebagai buah.

Setelah melalui proses persidangan, Supreme Court akhirnya memutuskan kalau tomat masuk ke dalam golongan sayur-sayuran, bukan buah-buahan. Dengan demikian, pajak harus sesuai dengan aturan sayur-sayuran.

Terkait persoalan kebun sawit dalam kawasan hutan, Petrus Gunarso, pakar kehutanan sekaligus aktivis Divisi Riset Kebijakan dan Advokasi Relawan Jaringan Rimbawan (RJR), menyebutkan, sebaiknya kelapa sawit memang ditanam di kawasan area penggunaan lain (APL). Sebab, kata dia, kawasan APL masih banyak yang terdegradasi.

"Ayo, tanamlah sawit di degraded APL, maka ini akan menambah serapan karbon," sebutnya.

"Tapi ingat, di lain pihak, KLHK harus segera menetapkan kawasan hutan tetap untuk mengakomodir pertumbuhan penduduk dan kebutuhan pangan rakyat," tegasnya.

Karena itu ia mendesakkan perlunya dibuat kesepakatan baru terkait batas hutan.

"Harus dibuat sebagai pembaruan. Dahulu namanya tata guna hutan kesepakatan (TGHK), sekarang namanya tata ruang kesepakatan," tukasnya. 


 

Komentar Via Facebook :