Berita / Nusantara /
Defenisi Penimbunan Barang Kebutuhan Pokok Perlu Diperjelas
Medan, elaeis.co - Beberapa waktu lalu pihak Satgas Pangan Polda Sumatera Utara menemukan adanya 1,1 juta kilogram minyak goreng (migor) kemasan di gudang salah satu produsen di Kabupaten Deli Serdang.
Beberapa saat kemudian pihak Polda Sumut membuat kesimpulan bahwa belum ditemukan tindak pidana penimbunan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Menanggapi hal ini, pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kantor Wilayah (Kanwil) I Medan mendiskusikan hal ini secara terbatas dengan sejumlah pihak terkait di Medan, Jumat (4/3/2022).
Kepala Kanwil I KPPU, Ridho Pamungkas, dalam keterangan resmi yang diterima elaeis.co, Minggu (6/3/2022), menyebutkan, diskusi terbatas itu dihadiri oleh Wakil Ketua KPPU Guntur Syahputra Saragih, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara Abyadi Siregar dan Wakil Ketua Umum DPP Apkasindo Perjuangan, Subangun Berutu.
Ridho menyebutkan, KPPU masih mendalami terkait pernyataan produsen migor terkait yang menyatakan produksi migor mereka dipergunakan untuk industri mie instan yang terafiliasi dengan perusahaan.
"Padahal berdasarkan temuan dari Satgas Pangan, migor di gudang itu adalah minyak goreng kemasan, bukan migor curah sebagaimana umumnya minyak goreng untuk industri," kata Ridho.
Artinya, kata dia, ada dugaan situasi ini terkait dengan kebijakan domestic market obligation (DMO) minyak goreng yang dapat diakali industri dengan memprioritaskan pada penjualan ke industri yang tidak dipatok oleh harga eceran tertinggi (HET).
Sementara itu Abyadi Siregar mengaku masih perlu mendalami penafsiran dari pasal 11 Perpres Nomor 71 Tahun 2015 tersebut. Kata dia, dalam hal terjadi kelangkaan migor di masyarakat, perlu ada penafsiran yang jelas dalam menetapkan jumlah dan waktu persediaan dan stok yang wajar didasarkan dari masing-masing karakteristik produknya.
Ia menyebutkan, migor termasuk barang kebutuhan pokok yang cepat perputarannya dan lancar produksinya. Dengan demikian batasan waktu penyimpanan dari migor hingga dikatakan memiliki motif penimbunan perlu ditinjau ulang.
"Bagaimana jika ditemukan stok minyak goreng yang tertahan selama 2,5 bulan dalam kondisi barang langka di masyarakat, apakah masih belum dikatakan penimbunan?” ujarnya.
Di sisi lain, Subangun Berutu mengungkapkan dalam tata niaga sawit, perhitungan harga tandan buah segar (TBS) produksi petani sawit hanya berdasarkan pada perhitungan nilai minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Kata dia, rata-rata harga TBS adalah 20 persen dari harga CPO. Padahal hampir semua sisa pengolahan kelapa sawit masih tetap bernilai jual seperti cangkang, tandan hingga abunya.
"Hal ini yang membuat kami selaku petani sawit mandiri berada dalam posisi yang termarginalkan dalam tata niaga sawit," tegas Subangun Berutu.
Komentar Via Facebook :