Berita / Nusantara /
Demi Perbaikan Tata Kelola, Jokowi Diminta Perpanjang Moratorium Sawit
Jakarta, Elaeis.co - Semrawutnya tata kelola industri sawit Indonesia selama ini menjadi hambatan utama bagi terwujudnya industri sawit berkelanjutan dan keberterimaan sawit di pasar global.
Inpres Nomor 8 Tahun 2018 yang dikenal dengan Moratorium Sawit diterbitkan dan menjadi instrumen penting untuk mengurai dan menyelesaikan persoalan tata kelola industri sawit. Sayangnya inpres tersebut akan berakhir 19 September nanti, padahal tujuan penerbitannya belum sepenuhnya tercapai.
Dampak positif dari implementasi inpres tersebut sebenarnya sudah tampak di beberapa daerah yang konsisten melaksanakannya. “Itulah sebabnya moratorium sawit penting dan mendesak bukan hanya untuk diperpanjang, tetapi juga diperkuat agar dapat mencapai tujuan,” kata peneliti The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, dalam keterangan resmi yang diterima Elaeis.co.
Dia menilai, kebijakan moratorium sangat strategis secara konseptual. Hanya saja belum optimal dalam tataran implementasi. “Belum optimalnya implementasi moratorium sawit disebabkan berbagai hal yang menghambat, seperti belum adanya target spesifik. Maka diperlukan penguatan produk hukum dengan disertai target yang spesifik, misalnya peningkatan produktivitas maupun review izin dengan ukuran target yang jelas,” katanya.
Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak, Rahmadha, menambahkan, inpres tersebut telah membawa pemerintah Indonesia ke jalur yang tepat dalam upaya mewujudkan tata kelola sawit berkelanjutan. “Inilah esensi dari penerimaan pasar minyak sawit Indonesia di pasar global. Namun peluang strategis tersebut berpeluang hilang jika aturan ini tidak diperpanjang,” jelasnya.
“Persoalan seperti review izin dan konflik sosial yang belum tuntas dapat menciptakan sentimen negatif bagi pasar global. Apalagi proyeksi konsumsi sawit Indonesia sampai tahun 2024 masih didominasi oleh pasar ekspor,” tambahnya.
Kepercayaan masyarakat global terhadap komoditas minyak sawit Indonesia yang berkelanjutan, menurutnya, sangat penting untuk terus dijaga dan ditingkatkan oleh pemerintah Indonesia. “Setiap tahun sekitar 19 persen konsumsi dan permintaan dari total CPO global berasal dari sawit bersertifikat berkelanjutan,” sebutnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware, menilai, Inpres Moratorium Sawit juga menjadi jawaban bagi tuntutan pasar internasional akan produk sawit yang berkelanjutan. “Kebijakan tersebut menjadi alat bagi pemerintah Indonesia dalam melakukan perbaikan tata kelola untuk menghasilkan produk sawit yang dapat diterima pasar global. Jika tata kelola perkebunan sawit menjadi lebih baik, maka iklim investasi di Indonesia akan semakin positif,” katanya.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace, Arie Rompas, mengatakan, perpanjangan moratorium sawit juga dibutuhkan oleh daerah untuk mengurai permasalahan tumpang tindih lahan. Dia mengapresiasi langkah yang dilakukan Pemerintah Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengevaluasi izin 30 perusahaan perkebunan sawit dalam dua tahun terakhir.
Hasilnya, 14 izin perusahaan sawit sudah dicabut dan empat perusahaan lainnya terancam dicabut izinnya karena melanggar aturan perundang-undangan. “Langkah ini juga semestinya dilakukan pemerintah daerah yang lain untuk mengurai permasalahan serupa,” katanya.
Menurutnya, setelah diperpanjang, Moratorium Sawit harus bisa menjadi perangkat hukum untuk menyelesaikan persoalan lahan sawit yang masuk dalam kawasan hutan. Moratorium juga harus bisa memastikan semua tutupan hutan yang tersisa di dalam izin dikembalikan sebagai kawasan hutan atau ditetapkan sebagai lahan konservasi atau dikelola melalui skema hutan adat.
“Yang juga perlu ditekankan lagi ialah, kebijakan moratorium mendatang tidak hanya dilaporkan pada presiden tetapi juga harus dipublikasi ke publik untuk menjamin keterbukaan informasi,” tukasnya.
Komentar Via Facebook :