https://www.elaeis.co

Berita / Internasional /

Di Belanda, Gubernur Kaltim Tegaskan Isu Sawit Bukan Soal Lingkungan, tapi Persaingan Bisnis

Di Belanda, Gubernur Kaltim Tegaskan Isu Sawit Bukan Soal Lingkungan, tapi Persaingan Bisnis

Gubernur Kalimantan Timur (kaltim), Isran Noor. Foto: Samsul Arifin


Jakarta, elaeis.co – Gubernur Kalimantan Timur (kaltim), Isran Noor, berkunjung ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Denhaag, Belanda, Senin (17/7). Kesempatan itu digunakannya untuk membahas isu minyak sawit. Pasalnya, hingga saat ini Indonesia kerap mendapatkan ‘teror’ dalam bisnis kelapa sawit dari negara-negara Uni Eropa. Mereka berulang kali membawa isu lingkungan dan deforestasi atau pengrusakan hutan.

“Menurut saya, ini bukan persoalan lingkungan dan pengrusakan hutan, tapi kompetisi bisnis,” kata Isran lewat keterangan resmi yang diperoleh Kamis (20/7).

Menurutnya, bila dibandingkan dengan minyak bunga matahari yang banyak diproduksi di Eropa, sawit lebih ramah dari sisi lingkungan. Pertama karena sawit bisa bertahan hidup selama 25 tahun, bahkan 30 tahun. Selama itu pula sawit tetap menjadi pohon meski homogen. 

"Kalau bunga matahari, setiap enam bulan dipanen. Saat itu lahan dibuka kembali, karena harus dipanen. Kalau sawit tidak. Selama 25 tahun dia akan tetap menjadi pohon untuk menahan hantaman panas matahari, penguapan terbatas, dan kalau ada air hujan dia akan menyerap air,” beber Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia itu.

Selain itu, sawit juga lebih produktiv dari sisi produksi. Sebab satu hektare sawit sama dengan 10 hektare minyak bunga matahari. "Jadi sesungguhnya minyak matahari tidak mungkin bersaing dengan minyak sawit," tandasnya.

Ditegaskan juga bahwa penanaman sawit juga selalu mengacu pada kaidah-kaidah lingkungan. Salah satunya, sawit tidak ditanam di kawasan hutan, tapi kawasan nonkehutanan, yakni areal penggunaan lainnya (APL). Sayangnya, banyak kelompok-kelompok di dalam negeri yang justru memberikan data dan informasi yang salah ke Eropa.

Dia menambahkan, produksi crude palm oil (CPO) Indonesia mencapai 55 juta ton per tahun. Sebesar 20 juta ton digunakan untuk keperluan dalam negeri sebagai bahan baku minyak goreng dan biodiesel. Sisanya diekspor.

“Dari 35 juta ton CPO yang diekspor itu, hanya 8 persen ke Eropa, kecil sekali. Kalau saya dijadikan juru runding pemerintah, tidak usah saja ekspor ke Eropa,” ucapnya.

Duta Besar Republik Indonesia di Denhaag, Mayerfas, meminta agar produksi dan ekspor CPO ke Belanda  dan Eropa tetap dilanjutkan. “Tanpa sawit, mereka pasti sulit. Beberapa waktu lalu, ketika kita stop dua bulan, mereka (Eropa) teriak,” ungkapnya.  

Belanda sendiri, katanya, menjadi partner utama perdagangan Indonesia di Eropa. Tahun lalu ekspor Indonesia mencapai USD 65 miliar dan surplus sebesar USD 5 miliar. Belanda juga merupakan investor terbesar Eropa ke Indonesia, termasuk besarnya kunjungan wisatawan ke Tanah Air. Jumlahnya berkisar 250 ribu per tahun. Wisatawan dari Belanda berkunjung ke berbagai daerah di Indonesia, bukan hanya Bali.

“Jadi, lanjutkan saja sawitnya Pak Gubernur. Yang  pasti, Belanda akan terus memberi banyak nilai tambah secara ekonomi untuk Kaltim dan Indonesia,” tutupnya.
 

Komentar Via Facebook :