Berita / Nusantara /
Didesak Batalkan DMO, Mendag juga Ditantang Tetapkan DPO Pupuk
Pekanbaru, elaeis.co - Protes terhadap kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) minyak sawit (CPO) yang diberlakukan pemerintah untuk menjaga ketersediaan minyak goreng murah dalam negeri belum berakhir. Banyak pihak menuding Menteri Perdagangan (mendag) M Lutfi tidak peka terhadap nasib petani sawit.
"Untuk urusan DMO dan DPO ini, tampaknya Mendag menyelesaikan masalah dengan membuat masalah baru," kata Ketua Umum DPP Asosiasi Sawitku Masa Depanku (SAMADE), Tolen Ketaren, kepada elaeis.co, Minggu (30/1/2022).
Tolen mengaku tetap akan memprotes kebijakan DMO dan DPO itu karena sangat memberatkan dan melukai hati petani swadaya termasuk anggota SAMADE. Kerontokan harga tandan buah segar (TBS) yang sangat signifikan terjadi hanya sehari setelah kebijakan DPO dan DMO itu diumumkan.
"Harga TBS rontok sampai Rp 1.000/kg. Bahkan dari laporan para petani swadaya di berbagai daerah, ada harga TBS yang turun lebih dari Rp 1.000/kg," kata Tolen.
Hal ini semua tidak sebanding dengan uang petani yang ada di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang dipakai pemerintah untuk subsidi minyak goreng selama enam bulan.
Ia lalu mencoba berhitung tingkat kerugian yabg dialami para petani sawit di Indonesia. Kata dia, dari total luas kebun sawit di Indonesia yang mencapai sekitar 16 juta hektare, 40 persennya adalah milik petani sawit.
Jika setiap hektare kebun petani panen satu ton per bulan, maka anjloknya harga TBS karena kebijakan DMO/DPO itu telah menimbulkan kerugian hingga Rp 6 triliun. Itu baru hitungan satu bulan.
"Sebelum mengeluarkan kebijakan, seharusnya Mendag M Lutfi mendengarkan semua pihak yang berkepentingan. Karena berbeda sekali antara kebijakan DMO batu bara dengan DMO sawit," kata Tolen.
Ia menyebutkan, dari 40 persen kebun sawit petani swadaya, pemerintah telah menikmati hasilnya berupa bea keluar (BK) ekspor CPO.
"Sekian lama pemerintah menikmati hasil dari BK minyak sawit, namun tidak mau mengeluarkan sedikitpun untuk menutupi selisih harga minyak goreng agar stabil di pasar," kata Tolen.
Tolen tidak sekadar bicara. Ia menyebutkan, BK CPO di bulan Februari 2022 diputuskan Kementerian Perdagangan sebesar USD 200/ton atau setara dengan Rp 2.600/kg. Nilai itu, kata Tolen, belum lagi ditambah dari BK produk turunan CPO lainnya seperti RBD Stearin, RBD PO, RBD Palm Olein, dan lainnya. Artinya, menurut Tolen, pemerintah sudah menang banyak dari pungutan BK saja.
Kebutuhan CPO untuk produksi migor di dalam negeri hanya 20 persen dari total produksi CPO nasional. Melihat fakta itu, menurut Tolen, seharusnya dana yang diperoleh pemerintah dari BK sudah lebih dari cukup untuk mengatasi persoalan harga migor.
"Ini kelihatannya pemerintah ambil duit dari BK dan minta petani sawit subsidi migor di seluruh Indonesia," sindirnya.
Ia menegaskan, SAMADE sebagai kumpulan para petani sawit swadaya yang umumnya hanya punya beberapa hektar kebun sawit, mendesak pemerintah melalui Mendag M Lutfi membatalkan kebijakan DMO/DPO minyak sawit.
SAMADE, kata Tolen, meminta pemerintah menggunakan dana BK untuk menutupi selisih harga minyak goreng. Ia meminta pemerintah tidak boleh serakah terhadap warganya sendiri, termasuk kepada para petani swadaya.
Di samping itu, ia juga mendesak Mendag agar membuat DPO harga eceran tertinggi (HET) untuk harga pupuk yang sudah berbulan-bulan sangat mahal dan tak bisa dijangkau para petani.
Ia heran Mendag malah membuat HET CPO. Sebab, dengan harga TBS saat ini saja petani sudah menjerit karena tingginya harga pupuk.
"Pertanyaan saya untuk Pak Mendag M Lutfi, di mana Anda dulu saat harga CPO hanya Rp 5.000/kg? Kenapa saat itu Anda tidak membuat harga eceran terendah untuk CPO Rp 9.300/kg?" Tolen bertanya.
"Atau seperti pada saat ini, beranikah Pak Mendag membuat DPO pupuk dengan harga HET NPK 16.16.16 Yaramila Rp 7.000/kg, HET KCL Rp 5.500/kg, HET TSP Rp 6.000/kg, dan HET Urea Rp 3.750/kg? Silahkan jawab ya Pak Mendag M Lutfi," pungkasnya.
Komentar Via Facebook :