https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Diskriminasi Sawit Harus Dijadikan Sebagai Benefit

Diskriminasi Sawit Harus Dijadikan Sebagai Benefit

Ilustrasi industri sawit (Facebook)


Jakarta, Elaeis.co - Uni Eropa (UE) terus melakukan berbagai cara untuk mempersulit masuknya produk turunan kelapa sawit, termasuk yang berasal dari Indonesia, ke pasar di kawasan itu. Tapi Indonesia tidak boleh larut dan kalah menghadapi praktek diskriminasi itu.

Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, mengatakan, jika berfikir positif dan kreatif, larangan apa pun yang diberlakukan pihak asing terhadap sawit justru menjadi berkah bagi Indonesia.

"Sebab ada benefit bagi hilirisasi produk sawit. Karena itu, ayo, industri, pemerintah, dan asosiasi bersama-sama kembangkan produk sawit. Let's do it, jangan lagi ada ego sektoral," katanya dalam webinar yang diselenggarakan oleh Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), Kamis (9/9/2021).

"Semua pihak harus mencontoh jari tangan, berbeda-beda bentuknya namun bisa saling bekerja sama," tambahnya.

Menurutnya, Kementerian Perindustrian memegang peran penting dalam pengembangan industri oleochemical. Sudah saatnya Indonesia dilepaskan dari kebiasaan meniru apa yang berkembang di luar negeri. 

"Selama ini, kalau investor punya uang, langsung bangun pabrik, meniru yang sudah ada di luar negeri," Sahat menyindir.

Ia memuji dua perusahaan di dalam negeri yang masing-masing mengembangkan oleochemical menjadi katalis dan surfaktan. Tapi sayangnya, hingga saat ini tidak ada perusahaan lain yang ikut memperluas pengembangan produk oleochemical.

Sahat lalu menyebut gliserin yang justru diekspor. Padahal ada teknologi yang bisa mengubahnya menjadi dua produk turunan yang bernilai dua kali lipat, yakni propelin dan propanol. 

"Gliserin itu hanya memberikan keuntungan sekitar US$ 200 per ton. Tapi kalau gliserin dikembangkan jadi propelin dan propanol, justru bisa memberikan keuntungan US$ 700-800 per ton," kata praktisi sawit senior yang akrab dipanggil Oppung oleh koleganya.

Dus, hilirisasi itu membuat Indonesia bisa menghemat US$ 18-20 juta per tahun dari impor propelin dan propanol. "Makanya saya katakan, Kementerian Perindustrian-lah yang harus pegang peranan di sini," tegas alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.

Komentar Via Facebook :