https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

GAPKI Minta Pemerintah Evaluasi Food Estate

GAPKI Minta Pemerintah Evaluasi Food Estate

Ketua Bidang Komunikasi GAPKI Tofan Mahdi. (Istimewa)


Jakarta, elaeis.co - Food Estate merupakan kebijakan Presiden Joko Widodo untuk menghadapi ancaman krisis yang diperkirakan sudah di depan gerbang Indonesia. Namun, program tersebut berpotensi menjadi bumerang bagi Indonesia di masa depan.

Ahli Politik Lingkungan Internasional Universitas Paramadina, Ica Wulansari dalam siaran pers yang diterima elaeis.co, Sabtu (17/12) mengatakan, kebijakan Food Estate yang dilakukan pemerintah tidak selaras dengan kebutuhan warga setempat. 

Bahkan, dalam jangka panjang, menurutnya kebijakan tersebut dapat menjadikan lahan tidak subur dan mengganggu keseimbangan ekosistem.

"Karena itu, kebijakan Food Estate di tahun 2023 perlu mendapat peninjauan kembali untuk memitigasi kemungkinan efek negatifnya," kata Sekretaris Program Sarjana Hubungan Internasional Universitas Paramadina ini, dalam acara Evaluasi 2022 and Proyeksi 2023: Kebijakan Luar Negeri dan Diplomasi Indonesia di Kampus Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis (15/12) lalu.

Dirinya mengaku, berlarutnya konflik Rusia-Ukraina telah menyebabkan krisis di sektor pangan semakin buruk. Keterlibatan Rusia yang merupakan produsen bahan aktif pupuk telah menjadikan harga pupuk global tidak terkendali dan naik mencapai 80 persen.

Sementara, kebijakan subsidi pupuk di Indonesia masih minim evaluasi dan butuh perbaikan mendasar. Kompleksitas semakin bertambah dengan tidak jelasnya definisi terkait ketahanan pangan, kedaulatan pangan, keamanan pangan dan kemandirian pangan. 

"Mau tidak mau, kapasitas adaptasi menghadapi perubahan iklim dalam kebijakan pangan nasional harus ditingkatkan," tandasnya dalam acara yang juga dihadiri pembicara lain seperti ahli pekerja migran, yang juga dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Benni Yusriza dan Tofan Mahdi, Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Sedangkan moderator acara ini adalah Anton Aliabbas, Kepala Centre for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE).

Sementara itu Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Tofan Mahdi mengatakan, pemerintah mestinya memaksimalkan komoditas sawit dalam percepatan pemulihan ekonomi nasional akibat Pandemi Covid-19. 

Bahkan menurutnya, konflik Rusia-Ukraina memberi dampak signifikan terhadap pasar minyak nabati global. Akibat dari konflik tersebut, komoditas sawit dilirik sebagai salah satu produk minyak nabati global. 

Dirinya menambahkan, setidaknya 70 persen dari produksi kelapa sawit terabsorpsi untuk pasar ekspor. Dan khusus untuk pasar kelapa sawit Internasional, produksi sawit Indonesia dan Malaysia mendominasi 85 persen pasar. Sementara, keseriusan pemerintah dalam mendorong ekspor sawit masih butuh perbaikan. 

"Pemerintah sudah punya kebijakan keberlanjutan kelapa sawit, tapi kenapa kebijakan tersebut kurang gigih digunakan untuk merespon standar Uni Eropa yang sering berubah. Pemerintah justru sering kali terlihat tidak berdaya menghadapi tuntutan sustainability standar," cetus Tofan. 

Dirinya mengingatkan pemerintah untuk menyiapkan respon memadai terkait kebijakan baru Uni Eropa perihal pelarangan produk atau komoditas terkait 'driver of deforestation'. 

Kebijakan ini diprediksi akan berdampak pada ekspor kopi, sawit dan kakao. Untuk diketahui, Uni Eropa merupakan pasar tujuan ekspor sawit Indonesia terbesar ketiga, setelah Tiongkok dan India. 

Terkait tata kelola pekerja migran sektor perikanan, Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Benni Yusriza berharap, pemerintah secara serius mengakhiri dualisme pengaturan yang berada di bawah Kementerian Perhubungan dan Kementerian Tenaga Kerja. 

Menurutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran justru tidak secara efektif mengakhiri problem dualisme pengaturan awak kapal. Padahal, kata dia, pekerja migran di sektor perikanan rentan menjadi korban penyelundupan dan perdagangan orang.

"Kebijakan diplomasi Indonesia terkait pekerja migran di sektor perikanan harus selesai di sektor hulu. Jadi, urusan dualisme pengaturan yang dilakukan Kemenhub dan Kemenaker harus diselesaikan dulu," tegas Benni. 

Selain itu, agar tenaga kerja sektor perikanan di pasar domestik membaik, dirinya mengusulkan pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 188 Tahun 2007.

"Ratifikasi Konvensi 188 akan mengatur standar kerja layak di kapal ikan yang akan membuat pasar nasional lebih kompetitif bagi para AKP," beber Benni.

Komentar Via Facebook :