Berita / Nusantara /
Giliran Buat Petani Sawit, Komisi IV DPR: Duitnya Sikit, Ambilnya Sulit...
Jakarta, elaeis.co - Tiga hari lalu, sejumlah wakil rakyat di Komisi IV DPR mengomel panjang kepada Badan Pengelolah Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di ruang rapat komisi itu, di komplek DPR Senayan, Jakarta.
Suhardi Duka menjadi salah satu yang paling mengomel di Rapat Kerja berdurasi hampir 2,5 jam itu. Kader Demokrat asal Mamaju Sulawesi Barat ini sampai kesal memaparkan aliran duit yang teramat jomplang kepada korporasi ketimbang petani sawit.
"Tengoklah di 2021. Duit yang mengalir kepada konglomerat dalam bentuk subsidi biodiesel mencapai Rp51,86 triliun, tapi kepada petani sawit masih hanya Rp1,2 triliun. Duit ini enggak sebanding dengan luas kebun sawit rakyat yang mencapai 6,8 juta hektar," rutuk bekas Bupati Mamuju dua periode itu.
Sudahlah jumlah duit yang mengalir ke petani sawit itu sangat kecil kata lelaki 59 tahun ini, syarat biar duit itu mengalir, tak pula mudah. Beda dengan duit yang mengalir ke konglomerat tadi; lancar-lacar wae!
"Untuk yang lain lancar, tapi untuk petani enggak, walau sederet persyaratan sudah dipenuhi dan rekomtek sudah keluar. Bukan cuma rumit, tapi kaku. Inilah yang membuat saya menilai bahwa dalam mengelola duit, anda (Direktur BPDPKS) tidak punya sense of belonging kepada petani sawit. Saya minta ini diperbaiki. Kalau tidak, badan ini agaknya perlu kita tinjau ulang," Suhardi menatap wajah Dirut BPDPKS, Eddy Abdurrachman.
Sebetulnya kata Suhardi, duit yang sudah mengalir ke konglomerat sepanjang lima tahun terakhir, hal yang sia-sia. Belum lagi nilainya sangat sangat fantastis; lebih dari Rp110 triliun. "Terlalu dipaksakan mensubsidi biodiesel," tegasnya.
Ayah 7 anak ini masih ingat betul bahwa dulu, ide membikin biodiesel itu muncul lantaran harga Crude Palm Oil (CPO) lebih murah ketimbang solar. Jadi, waktu itu masih memungkinkanlah CPO dijadikan biodiesel lantaran harganya terjangkau.
"Sekarang, harga CPO sudah tinggi, otomatis makin banyak duit yang mengalir ke perusahaan besar untuk membayar selisih harga. Menurut saya ini sudah sesat. Menghabiskan uang cuma untuk selisih harga, dan yang menikmati bukan pula petani, tapi perusahaan. Alhasil perusahaan untung terus dan petani buntung terus," rutuk Suhardi.
Suhardi tak menampik bahwa B10, B20 bahkan B100 sangat dibutuhkan agar Indonesia mandiri energi. Tapi kalau harga CPO tinggi, lebih mahal dari harga minyak, ya jangan dipaksakan CPO menjadi biodiesel. Subsidi jadi beban dan yang membayar BPDPKS. Katanya. Filosofinya, BPDPKS ini dibikin untuk membantu rakyat," katanya.
Soal filosofi ini, ada pula Sutrisno, kader PDI Perjuangan asal Majalengka Jawa Barat yang mengulik. Pada pasal 11 ayat 1 Peraturan Presiden (Perpres) nomor 61 tahun 2015 yang menjadi aturan main lahirnya BPDPKS disebutkan bahwa ada lima pos utama yang boleh dialiri dana BPDPKS; pengembangan sumber daya manusia Perkebunan Kelapa Sawit; penelitian dan pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit; promosi Perkebunan Kelapa Sawit; peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit; dan sarana dan prasarana Perkebunan Kelapa Sawit
Lalu di ayat 2 dijelaskan bahwa penggunaan dana termasuk juga hasil sawit untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri perkebunan sawit serta penyediaan bahan bakar nabati biodiesel.
"Ini semua tambahan. Yang pokok itu ya yang di ayat 1 tadi. Gimaana kemampuan pekebun kelapa sawit rakyat itu meningkat biar ke depan menjadi korporasi," urai bekas Bupati Majalengka dua periode ini.
Sama seperti Sutrisno, kader PKB, Daniel Johan juga menyayangkan kecilnya aliran duit untuk petani. Lelaki 49 tahun ini kemudian mengambil contoh program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Tahun 2021, dari total duit yang ada di BPDPKS, yang dialokasikan untuk PSR hanya Rp5,6 triliun. Angka ini setara dengan 10 hingga 15 persen duit BPDPKS tadi. Kenyataanya, yang terealisasi hanya Rp1,3 triliun.
Dengan realisasi yang sangat kecil itu kata wakil rakyat asal Kalimantan Barat ini, mestinya BPDPKS menyelesaikan masalah-masalah yang menghambat para petani, bukan menyediakan program yang syaratnya sulit dijangkau petani.
"Misalnya soal legalitas lahan. Gimana caranya supaya ini dimiliki petani. Tapi kan alokasi dana untuk yang begini enggak ada. Ini berarti memang kebijakan BPDPKS itu enggak ada yang pro rakyat," tegasnya.
Komentar Via Facebook :