https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Harga CPO Diprediksi Melambung Tersebab Stagnasi Produksi Nasional

Harga CPO Diprediksi Melambung Tersebab Stagnasi Produksi Nasional

Para pembicara Sesi 4 IPOC 2024. Foto: Taufik Alwie


Nusa Dua, elaeis.co - Pergerakan harga CPO di pasar global yang diprediksi akan melambung tinggi pada 2025 merupakan hal yang menggembirakan sekaligus harus diwaspadai oleh negara pengekspor minyak sawit.

Pasalnya, di balik cerahnya prospek harga, terdapat risiko CPO kehilangan pamornya sebagai minyak nabati terbaik dengan harga yang rendah. Sehingga dikhawatirkan justru mendapat respon negatif dari para konsumer, utamanya negara produsen biofuel.

Potensi sentimen negatif terhadap minyak sawit ini dikemukakan Thomas Mielke,  Executive Director ISTA Mielke Gmbh, pada Sesi 4 Indonesian Palm Oli Conference (IPOC) 2024 yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, pada hari kedua, Jumat, 8 November 2024.

Pada Sesi 4 yang dipandu Kepala Departemen Luar Negeri GAPKI Fadhil Hasan itu, Mielke tampil bersama Julian Mc Gill (Glenauk Economics),  Joko Supriyono (GAPKI), Nagaraj Meda (Transgraph), dan Dorab Mistry (Godrej International).

Thomas Mielke, yang meyakini harga CPO pada 2025 masih akan meningkat, melihat beberapa industri biofuel di Amerika maupun Eropa mengalami tekanan secara kinerja keuangan. Bahkan Brazil berniat memundurkan program mandatori biodiesel jika harga terus menanjak.

Pasalnya, peningkatan harga akan membuat para produsen biofuel tersebut enggan menggunakan  CPO sebagai bahan baku utama.

“Bila Pemerintah Indonesia memaksakan program B40, maka harga minyak nabati seperti CPO dan soya akan mengalami kenaikan setidaknya 10%-15% untuk memenuhi permintaan bagi sektor pangan maupun lainnya,” kata Mielke.

Adapun yang menjadi perhatiannya adalah produktivitas CPO Indonesia yang cenderung stagnan sampai 2026.

Sementara itu, program mandatori biodiesel yang baurannya ditingkatkan menjad B40 pada awal tahun depan, akan semakin banyak menyedot minyak sawit.

Mielke menilai kenaikan harga minyak nabati akan dimanfaatkan oleh produsen canola, rapeseed, dan sunflowers untuk memperluas wilayah.

Di sisi lain, kebun-kebun kelapa sawit di Indonesia tengah mengalami moratorium kendati sebagian  sudah memasuki usia replanting yang berakibat pada penurunan yield.

Mielke menilai, perlambatan pertumbuhan lahan perkebunan menyebabkan pasokan minyak sawit menjadi stagnan.

“Lihat, ekspor minyak sawit mencapai puncaknya pada 2019 dan tidak pernah kembali ke level tersebut,” jelasnya. Pada tahun 2019, ekspor minyak  sawit Indonesia mencapai 36,17 juta ton naik 4,2% YoY.

 

Namun, dia khawatir bila tren kenaikan harga CPO terus berlanjut akan berdampak negatif bagi permintaan kelapa sawit. Dalam catatannya, ekspor soyabean telah mampu melampaui kinerja CPO di posisi 40 juta ton pada 2023.

Director Godrej International Ltd., Dorab Mistry memperkirakan harga CPO semester I/2025 bisa menembus level MYR5.000 per ton.

Peningkatan harga terjadi seiring menurunnya produksi di Indonesia dan Thailand. Dia menganggap bila tren kenaikan harga CPO terus berlanjut akan berdampak pada level kompetitif dengan minyak nabati lainnya.

Managing Director Glenauk Economics, Julian Mc Gill, menambahkan saat ini CPO termasuk dalam minyak nabati premium seperti rapeseed. Menurutnya kenaikan harga CPO adalah refleksi dari minimnya ketersediaan di pasar.

Sementara itu, Managing Director Transgraph Nagaraj Meda pun mulai melihat tanda-tanda penurunan permintaan terhadap CPO dalam dekade terakhir.

Ia memaparkan, pada 2014 minyak sawit memiliki market share mencapai 45% terhadap pasokan minyak nabati dunia, sedangkan pada 2024 jumlah itu tergerus menjadi 37%.

Sebagai contoh pasar India yang menjadi tujuan ekspor utama CPO, antara 2012-2013 membukukan penyerapan 8,24 juta ton, naik tipis pada 2023-2024 di posisi 9 juta ton.

Di sisi lain, pada 2012-2013 total ekspor soybean ke India 1,09 juta ton yang telah naik tiga kali lipat menjadi 3,5 juta ton.

 

 

Komentar Via Facebook :