Berita / Iptek /
Hasil Riset: Penetapan Kedalaman Muka Air Tanah Gambut Maksimum 40 cm Tidak Realistis
Jakarta, elaeis.co – Indonesia diketahui sebagai negara yang memiliki luas lahan gambut urutan keempat terluas di dunia setelah Kanada, Rusia dan Amerika Serikat.
Ada enam provinsi di Indonesia yang memiliki lahan gambut yang cukup luas. Yaitu Papua, Kalimantan Tengah, Riau, Kalbar, Sumsel dan Papua Barat.
Isu terkait lahan gambut memang sangat menarik walaupun di sisi lain juga cukup sensitif. Data mengenai luas lahan gambut pun bervariasi, antara 15 hingga 20 juta hektar.
Namun, berdasarkan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) skala 1:250.000 tahun 2017 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Kementerian KLHK, Indonesia memiliki lahan gambut seluas 24,67 juta hektar.
“Data yang dikeluarkan Kemen KLHK ini merupakan kompilasi dari beberapa lembaga salah satunya bersumber dari BBSDLP, Balitbangtan, Kementan," jelas Peneliti Kelompok Riset Pengelolaan Sumber Daya Air Pertanian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Budi Kartiwa, dalam rilis Humas BRIN dikutip Jumat (4/10).
Lahan gambut merupakan ekosistem dengan beragam fungsi diantaranya fungsi produksi dan sumber mata pencaharian, serta fungsi sebagai penyedia jasa lingkungan yaitu penyimpan sekitar 40 persen cadangan karbon, penyimpan air dan pengatur tata air, serta konservasi keanekaragaman hayati.
Karena pertimbangan ekonomi dan keterbatasan lahan, saat ini banyak pelaku usaha, khususnya di sektor kehutanan, perkebunan sawit dan pertanian, yang mulai memanfaatkan lahan gambut. Hal ini terjadi karena lahan tanah mineral sudah semakin terbatas, sehingga lahan gambut menjadi alternatif walaupun hal ini seringkali menimbulkan isu lingkungan seperti emisi GRK (gas rumah kaca), dekomposisi bahan organik berdampak pada penurunan muka tanah gambut (subsidensi), serta juga adanya risiko kebakaran lahan gambut.
“Risiko kebakaran lahan gambut sebenarnya banyak terjadi pada lahan-lahan yang tidak dibudidayakan atau dibiarkan terlantar. Sedangkan lahan yang dibudidayakan misalnya untuk perkebunan sawit umumnya aman, baik kondisi lahannya lembab ataupun kering," ungkapnya.
"Praktek pembukaan lahan ataupun pengolahan tanah dengan cara dibakar yang dilakukan oleh sebagian masyarakat serta aktivitas berisiko di sekitar lahan gambut dalam kondisi kering, seperti merokok dan membuang puntung rokok sembarangan, menjadi salah satu penyebab utama terjadinya kebakaran lahan gambut,” sambungnya.
Budi menjelaskan, berdasarkan data dari LSM Pantau Gambut, kebakaran lahan yang terjadi selama periode 2015-2019 mencapai luas 4,4 juta hektar, dan 50% area yang terbakar merupakan lahan gambut. Seluas 789.600 hektar atau sekitar 18% dari lahan yang terbakar, mengalami kebakaran berulang. Salah satu isu penting terkait kebakaran ini adalah elevasi muka air tanah (groundwater level) yang jika dikelola dengan baik dapat menjadi kunci dalam menurunkan risiko kebakaran lahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, ditetapkan dalam upaya pengendalian kerusakan gambut. Pasal 23 ayat 3 menyebutkan bahwa “ekosistem gambut dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila muka air tanah lebih dari 0,4 meter di bawah permukaan gambut”.
Sebagai turunan dari PP No. 57 tahun 2016, terdapat juga Peraturan Menteri LHK No. P.15 tahun 2017 yang mengatur tata cara pengukuran muka air tanah di titik penaatan. Titik penaatan ini merujuk pada titik centroid atau titik tengah petak atau blok budidaya tanaman kehutanan ataupun perkebunan di lahan gambut, sebagai titik pengamatan muka air tanah. Titik penaatan muka air tanah ditetapkan paling sedikit 15% dari seluruh jumlah petak atau blok tanah gambut.
Penetapan kedalaman maksimum muka air tanah di lahan gambut pada angka 40 cm menjadi tantangan bagi para pemangku kepentingan, terutama para pelaku usaha sektor kehutanan dan perkebunan. Pada tahun 2018, isu ini telah menjadi perhatian dan menjadi topik diskusi hingga menjadi usulan untuk melakukan riset bersama oleh Badan Litbang Pertanian, IPB, UGM, Ditjen Perkebunan serta beberapa perusahaan perkebunan swasta yang akan menyediakan lokasi penelitian.
Berdasarkan beberapa fakta yang telah dijelaskan, terdapat isu-isu yang perlu diverifikasi melalui penelitian. Diantaranya realistis atau tidaknya penentuan kedalaman muka air tanah maksimum pada angka 40 cm pada lahan gambut yang telah didrainase. Padahal RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yaitu asosiasi dari berbagai organisasi di sektor industri kelapa sawit yang berbasis di Jenewa, Swiss, menetapkan kedalaman muka air tanah gambut yang ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman sawit itu adalah pada kedalaman antara 60-80 cm.
Isu kedua yakni perlunya penelitian untuk mengetahui berapa laju penurunan rata rata muka air tanah di lahan gambut selama periode tidak ada hujan. Dengan mengetahui nilai ini, kedalaman maksimum muka air tanah gambut di saat puncak musim kemarau dapat diketahui. Dengan demikian nilai kedalaman maksimum muka air tanah gambut pada kondisi di lapangan dapat diperoleh untuk selanjutnya dapat dijadikan sebagai nilai acuan dalam penentuan angka kedalaman maksimum yang diperkenankan yang lebih realistis.
Kemudian isu ketiga yaitu penyusunan sistem peringatan dini kebakaran lahan gambut yang berbasis data yang mudah diperoleh di lapangan seperti misalnya data curah hujan harian.
“Itulah beberapa isu yang selanjutnya kita tindak lanjuti dengan melakukan riset. Ada dua kegiatan terkait riset, yaitu yang dilakukan selama periode 2020-2022 melalui kerja sama antara PT Astra Agro Lestari (AAL) dengan Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Badan Litbang Pertanian, Kementan, berlokasi di kebun sawit PT Kimia Tirta Utama di Kabupaten Siak, Riau. Serta penelitian tahun 2024 ini yang merupakan kerja sama penelitian antara World Agroforestry (ICRAF), BPSI Kementan, serta BRIN,” ungkap Budi.
Berdasarkan hasil penelitian terkait Kajian Dinamika Hidrologi Lahan Gambut dan Hubungannya dengan Tingkat Kerentanan Kebakaran, Budi menyimpulkan beberapa poin penting. Antara lain penetapan kedalaman muka air tanah gambut maksimum pada angka 40 cm untuk menetapkan ekosistem gambut telah mengalami kerusakan adalah tidak realistis dan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Bahkan pada lahan yang telah menerapkan manajemen pengelolaan air yang baik melalui pembuatan bangunan sekat kanal (canal blocking).
Kemudian, laju penurunan muka air tanah dari 3 lokasi penelitian menunjukkan kisaran nilai antara 9.8 hingga 17.4 mm/hari. Berdasarkan nilai ini, selama musim kemarau yang berlangsung 3 bulan, kedalaman muka air tanah maksimum dapat mencapai nilai antara 88,2 cm hingga 156,6 cm, sangat jauh dari ambang batas kedalaman maksimum yang diperkenankan menurut PP 57 tahun 2016 sebesar 40 cm.
Poin selanjutnya, dari penelitian ini telah dihasilkan model peringatan dini risiko kebakaran lahan gambut berbasis input data curah hujan harian terakhir di musim hujan.
Komentar Via Facebook :