Berita / Bisnis /
Hebatnya Sawit, dari Tanaman Hias Jadi Komoditi Andal Pengubah Peta Dunia
Jakarta, Elaeis.co - Industri minyak sawit Indonesia sudah teruji dalam menghadapi badai krisis ekonomi yang dipicu wabah Covid-19. Wajar jika industri sawit Indonesia menjadi salah satu isu yang menarik perhatian masyarakat dunia.
Menarik perhatian dunia karena perkembangannya yang sangat cepat, mengubah peta persaingan minyak nabati global maupun adanya berbagai isu sosial, ekonomi dan lingkungan yang terkait dengan industri minyak sawit. Industri minyak sawit yang dikenal di Indonesia saat ini memiliki sejarah panjang sejak masa kolonial.
Berawal dari empat benih kelapa sawit yang dibawa Dr. D. T. Pryce, 2 benih dari Bourbon-Mauritius, 2 benih dari Amsterdam (jenis Dura) untuk dijadikan sebagai tumbuhan koleksi Kebun Raya Bogor tahun 1848. Biji kelapa sawit dari Kebun Raya Bogor tersebut, kemudian disebarkan untuk ditanam menjadi tanaman hias (ornamental) sekaligus sebagai percobaan “uji lokasi“ baik di Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, maupun Sumatera khususnya di perkebunan tembakau Deli.
Pada 1878 pembudidayaan kelapa sawit seluas 0,4 hektare dalam bentuk percobaan dilakukan di distrik Deli oleh Deli Maatschappij. Hasil percobaan seperti yang dilaporkan J. Kroll Manajer Deli Maatschappij cukup menggembirakan dan bahkan produksinya lebih baik daripada di Afrika Barat habitat asalnya. Walaupun demikian pengolahan buah masih menjadi kendala pada waktu itu sehingga baru tahun 1911 perusahaan Belgia membuka usaha perkebunan kelapa sawit komersial pertama di Pulau Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh).
Karena itu 1911 dianggap awal dari perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Pada tahun 1911, perusahaan Jerman juga membuka usaha perkebunan kelapa sawit di Tanah Itam Ulu. Langkah investor Belgia dan Jerman tersebut diikuti oleh investor asing lainnya termasuk Belanda dan Inggris. Tahun 1916 telah ada 19 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan meningkat menjadi 34 perusahaan pada tahun 1920. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) pertama di Indonesia dibangun di Sungai Liput (1918) kemudian di Tanah Itam Ulu (1922).
Perkembangan industri minyak sawit Indonesia mengalami akselerasi setelah berhasil melakukan penguatan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN I, II, III) dan diterapkan model perkebunan kelapa sawit sinergi antara petani dengan korporasi yang dikenal dengan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) atau NES (Nucleus Estate and Smallholders). Keberhasilan uji coba NES (NES I-IV) yang dibiayai Bank Dunia, kemudian dikembangkan menjadi berbagai model PIR.
PIR Khusus dan PIR Lokal (1980-1985) dikembangkan dalam rangka mengembangkan ekonomi lokal; PIR Transmigrasi (1986-1995) dikaitkan dengan pengembangan wilayah baru dan PIR Kredit Koperasi Primer untuk Para Anggotanya (1996) dikaitkan dengan pengembangan koperasi pedesaan. Melalui pola-pola PIR tersebut, perkebunan kelapa sawit berkembang dari Sumatera Utara-Aceh, ke Riau, Kalimantan dan ke daerah lain di Indonesia.
Perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat dari sekitar 300 ribu hektare pada tahun 1980 menjadi sekitar 11,6 juta hektare pada tahun 2016 Sedangkan produksi CPO meningkat dari sekitar 700 ribu ton pada tahun 1980 menjadi 33,5 juta ton pada tahun 2016.
Pertumbuhan produksi CPO Indonesia yang begitu cepat merubah posisi Indonesia pada pasar minyak sawit dunia. Pada 2006, Indonesia berhasil menggeser Malaysia menjadi produsen CPO terbesar dunia dan pada tahun 2016 pangsa Indonesia mencapai 54 persen dari produksi CPO dunia. Sedangkan Malaysia berada diposisi kedua dengan pangsa 32 persen.
Produksi minyak sawit Indonesia sebagian besar ditujukan untuk ekspor, hanya sekitar 20-25 persen yang digunakan untuk konsumsi domestik Konsumsi domestik tersebut, mencakup untuk industri oleofood, oleokimia, detergen/sabun dan biodiesel.
Sejak tahun 2011 Indonesia telah mendorong hilirisasi minyak sawit di dalam negeri melalui tiga jalur hilirisasi yakni jalur hilirisasi industri oleofood, oleokimia dan biofuel. Tujuannya selain meningkatkan nilai tambah juga mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar CPO dunia. Jalur hilirisasi biofuel dikaitkan dengan kebijakan mandatori biodiesel dari B-5 (2010), B-10 (2012), B-15 (2014), B-20 (2016), B-30 (2020) dan B-40 (2021) .
Jalur ini bertujuan selain untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor BBM fosil juga mengurangi emisi dari BBM fosil. Untuk merealisasi kebijakan mandatori tersebut, produksi biodiesel berbasis minyak sawit (FAME: fatty acid methyl ester) ditingkatkan baik untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun untuk ekspor.
Volume ekspor minyak sawit Indonesia mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan produksi. Tahun 2008 ekspor minyak sawit Indonesia baru mencapai 15 juta ton, meningkat menjadi 25 juta ton (setara CPO) pada tahun 2016, 32,2 juta ton pada 2017, 34,7 juta ton pada 2018, 37,4 juta ton pada 2019, dan 34 juta ton pada 2020. Peningkatan volume ekspor minyak sawit Indonesia juga disertai dengan perubahan dalam komposisi produk ekspor.
Kebijakan hilirisasi minyak sawit di dalam negeri telah berhasil memperbaiki komposisi ekspor minyak sawit Indonesia dari dominasi minyak sawit mentah menjadi dominasi minyak sawit olahan. Jika tahun 2008 ekspor minyak sawit Indonesia sekitar 55 persen masih berupa minyak sawit mentah tahun 2016 berubah menjadi 78 persen sudah dalam bentuk minyak sawit olahan.
Ekspor minyak sawit Indonesia menghasilkan devisa yang penting bagi perekonomian nasional. Kontribusi ekspor CPO dan produk turunannya sangat penting dan menentukan neraca perdagangan sektor non migas khususnya maupun perekonomian secara keseluruhan. Nilai ekspor CPO dan produk turunannya mengalami peningkatan dari USD 15,4 miliar (2008) meningkat menjadi USD 21,6 miliar (2011) kemudian karena penurunan harga CPO dunia, turun menjadi USD 17,8 miliar (2016) dan US$ 18,44 miliar pada 2020.
Besarnya nilai ekspor minyak sawit tersebut merupakan suatu net ekspor yang terbesar untuk ukuran satu kelompok komoditi dalam perekonomian Indonesia. Devisa hasil ekspor minyak sawit tersebut dari sudut pandang pembangunan juga lebih berkualitas dan berkelanjutan karena (1) dihasilkan dari kebun-kebun sawit pada 190 kabupaten di Indonesia, (2) sekitar 41 persen disumbang oleh sawit rakyat, (3) komposisi produk olahan hasil hilirisasi domestik makin besar dan (4) dihasilkan dengan kreativitas pelaku perkebunan dan tidak menggunakan subsidi dari pemerintah. Gatra.com
Komentar Via Facebook :