https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Hitungannya Setelah 2020, Anak Petani Sawit: Berhentilah Merecoki Bangsa Sendiri!

Hitungannya Setelah 2020, Anak Petani Sawit: Berhentilah Merecoki Bangsa Sendiri!

Dari kiri ke kanan: Tenaga Ahli Utama KSP, Mayjen (Purn) Erro Kusnara, Dubes Uni Eropa Vincent Piket, Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Medali Emas Manurung. Foto: ist


Jakarta, elaeis.co - Mendengar Uni Eropa sudah mengesahkan Undang-Undang Uji Tuntas Uni Eropa (European Union Due Diligence Regulation), Gulat Medali Emas Manurung sontak terbayang pada masa-masa dia dan sejumlah petani kelapa sawit ngobrol panjang dengan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia; Vincent Piket.

Obrolan panjang itu tak hanya berlangsung di Kantor Staf Presiden di Bina Graha Jakarta, topik soal kelapa sawit dan deforestasi itu juga dibicarakan di sela santapan asam pedas baung, di Kota Pekanbaru, Riau, November tahun lalu. 

Piket langsung mau diundang Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) ke Riau untuk menengok langsung seperti apa para petani menggantungkan hidupnya dari tanaman kelapa sawit.    

Baca juga: Undang-Undang UE Disahkan, Sawit Indonesia Aman

Datang ke Riau pada 15 November tahun lalu, Piket pun tercengang. 

“Tadinya saya berpikir kalau kelapa sawit itu cuma tumbuhan biasa. Rupanya justru telah menjadi sumber penghidupan kalian,” kata Piket kepada 11 pengurus DPD Apkasindo se-Riau yang hadir dalam pertemuan itu.   

Sebetulnya, Uni Eropa kata Piket tidak lagi mempersoalkan deforestasi masa lalu, tapi justru memandang keberlanjutan itu ke depan. Sebab sesungguhnya Uni Eropa sangat membutuhkan minyak sawit. Buktinya Uni Eropa adalah pembeli nomor tiga terbesar dunia minyak sawit Indonesia. 

Hanya saja memang, deforetasi di Indonesia pada 90-an, masih saja dihubungkan banyak orang dengan kelapa sawit saat ini. 

“Untuk itulah reputasi kelapa sawit di mata Uni Eropa dan dunia harus dibangun kembali dan ini bukan pekerjaan mudah,” katanya.

Dan kalau ditelisik sampai sekarang, tak hanya Piket sebenarnya yang bilang bahwa deforestasi Indonesia di masa lalu itu tak dipersoalkan lagi. 

Di tahun ini, sederet duta besar negara asing yang ketemu dengan DPP Apkasindo, juga menyiratkan bahasa yang sama. 

Katakanlah Dubes Denmark Lars Bo Larsen, Dubes Norwegia Rut Kruger Giverin, Dubes Spanyol Francisco De Asis Aguilera, Dubes Jerman Ina Lepel, Dubes Belanda, Dubes Belgia, Dubes Swiss dan bahkan Piket ada juga di salah satu pertemuan itu.

Bisa jadi sinyal-sinyal sepanjang dua tahun terakhir inilah kemudian mengerucut dalam regulasi yang sudah disahkan tiga hari lalu itu. Bahwa deforestasi yang dipersoalkan adalah kejadian setelah 2020. 

Ini sekaligus mementahkan permintaan 35 Civil Society Organization (CSO) asal Indonesia yang meminta agar hitungan deforestasi itu dihitung sejak 31 Desember 2000.  

Gulat sendiri sangat menghargai upaya-upaya yang dilakukan CSO asal Indonesia itu. Sebab bagi Ketua Umum DPP Apkasindo ini, keinginan CSO itu juga merupakan keinginan mulia dari sisi lingkungan.

Tapi itu tadi, ada dimensi ekonomi dan sosial yang dikesampingkan. Mengedepankan dimensi lingkungan, bukan berarti meniadakan dimensi ekonomi dan sosial yang berkembang di tengah masyarakat dan ekonomi Indonesia. 

Gulat memastikan, petani punya tugas yang sangat prinsip; memastikan usaha tani kelapa sawit tumbuh dan berkelanjutan di antara tiga dimensi utama; ekonomi, sosial dan lingkungan. 

"Jadi petani sawit itu justru menggabungkan ketiga dimensi itu dalam usaha perkebunan kelapa sawit. Masih sedikitnya petani meraih ISPO --- baru 0,4% dari total luas lahan petani (6,87 juta ha) --- bukan berarti menjadi ukuran bahwa pekebun itu tidak berkelanjutan. Menjadi tugas kita semualah --- khususnya dalam segi pembiayaan --- menuju ISPO, termasuk negara yang selama ini bersuara EUDDR," tegasnya.

“Perlu dipahami bersama, pijakan kami petani sawit di 22 DPW Apkasindo se-Indonesia, bahwa memandang sawit itu harus dari Indonesia, bukan dari negara lain. Sebab sawit adalah harapan kami. Ekonomi rumah tangga kami sangat bergantung pada sawit yang kami tanam. Terimakasih kepada rekan-rekan CSO yang terus memberikan masukan dan koreksi untuk keberlanjutan sawit Indonesia dan kami ada di sana yang dengan tangan terbuka menerima masukan-masukan yang konstruktif,” bergetar lelaki ini mengatakan itu.

Sebagai generasi milenial sawit, Amir Aripin cuma meminta kepada semua pihak agar sama-sama memahami apa yang dibilang oleh orang-orang asing tadi. 

Kebetulan, waktu Piket datang ke Pekanbaru, Ketua Umum DPP Forum Mahasiswa Sawit (Formasi) Indonesia yang membawahi 84 kampus ini, nimbrung di sana.   

“Saya sendiri mendengar langsung omongan Piket bahwa tidak ada lagi masalah deforestasi, sudah kelar. Yang ditengok justru ke depannya. Kok malah orang kita masih ungkit-ungkit masa lalu?," Amir bertanya.

Tegas Amir bilang bahwa sawit adalah masa depan mereka, mata pencaharian orang tua mereka dan 17 juta petani sawit dan pekerja sawit lainnya. 

"Merusak citra sawit, berarti sudah merusak masa depan kami anak-anak petani sawit. Tolong diingat itu, berhentilah merecoki bangsa sendiri,” pintanya. 

Terlepas dari apapun itu, Amir bersyukur bahwa Uni Eropa telah membikin aturan yang benar-benar fair. "Mempersoalkan deforestasi setelah tahun 2020, itu sudah sangat pas. Kami juga sangat menginginkan hutan kita lestari dan kami Formasi Indonesia ada di sana. Itu juga yang dibilang orangtua saya," tegasnya.

Komentar Via Facebook :