Berita / Nusantara /
Indonesia Belum Lepas dari Belenggu Impor Pangan
Jakarta, Elaeis.co - Hari ini, Selasa (17/8), Indonesia memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan yang ke-76. Meski sudah banyak kemajuan yang telah dicapai, namun masih ada hal-hal fundamental yang belum lepas dari belenggu penjajahan.
Pangan dan energi misalnya, yang termasuk sektor yang paling mendasar. Hingga saat ini, Indonesia tercatat masih rutin mengimpor berbagai komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sepanjang semester I-2021, Indonesia telah mengimpor pangan senilai 6,13 miliar dollar AS atau setara dengan 88,21 triliun rupiah.
Impor daging lembu tercatat 289,62 juta dollar AS dengan volume mencapai 82.574,41 ton. Impor gula mencapai 1,49 miliar dollar AS dengan volume 3,52 juta ton. Kemudian, impor garam 44,19 juta dollar AS dengan volume 1,26 juta ton.
Begitu juga cabai dengan nilai impor senilai 59,47 juta dollar AS dengan volume 27.851,98 ton. Sedangkan bawang putih mencapai 196,21 juta dollar AS dengan volume 181.106,24 ton. Sementara susu nilai impornya mencapai 425,8 juta dollar AS dengan volume 151.187,57 ton.
Adapun impor kedelai mencapai 873,33 juta dollar AS dengan volume 1,51 juta ton. Impor jagung mencapai 99,85 juta dollar AS dengan volume 376.478,48 ton. Begitu juga dengan gandum dan meslin senilai 1,55 miliar dollar AS dengan volume 5,26 juta ton. Sedangkan tepung gandum dan meslin impornya mencapai 4,92 juta dollar AS dengan volume 12.526,61 ton.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis dari Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti, mengaku miris dengan kondisi tersebut mengingat 38 persen penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian.
“Kondisi ini perlu diwaspadai, apakah impor dilakukan karena kapasitas produksi dalam negeri tidak mencukupi permintaan atau ada godaan dari para pencari rente ke pemerintah untuk terus mengimpor pangan,” katanya, dikutip Koran Jakarta.
Godaan dari pemburu rente itu didahului dengan berbagai upaya tipu muslihat dengan menghancurkan harga produksi dalam negeri sehingga petani makin frustasi untuk berproduksi karena harga yang mereka terima lebih rendah dari biaya produksi. Akibatnya, petani semakin merugi dan pemburu rente semakin merajalela memenuhi pasar dalam negeri dengan barang impor.
“Kalau mau kembali mencapai swasembada pangan, maka harus ada good will dari pemerintah membenahi sektor pertanian. Jangan tergoda tawaran pemburu rente yang diperoleh dari impor komoditas pertanian,” tukasnya.
Sementara itu, pengamat pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan, membangun kemandirian pangan tidak bisa dilepaskan dari nasionalisme. “Bila nasionalismenya rendah, maka akan terus konsumsi impor. Padahal kita bukan pemakan roti. Jadi, diversifikasi pangan harus diarahkan pada pemanfaatan jenis pangan yang ada dalam negeri. Bukan supaya mencukupi beras yang kurang, malah mendatangkan gandum yang malah menghabiskan devisa,” katanya.
Bulog, paparnya, bisa menjadi instrumen membangun kemandirian pangan. Tidak hanya beras, tapi juga tebu dan lainnya, agar petani tidak merasa dibiarkan bertarung sendiri dengan produk impor. “Bulog harus punya kewenangan menjaga stabilitas harga yang didukung penuh pemerintah,” katanya.
Secara terpisah, Dewan Penasihat Institut Agroekologi Indonesia (Inagri), Ahmad Yakub, mengatakan, belum dibentuknya Badan Pangan seperti mandat UU Pangan sebagai bukti pemerintah belum serius dan konsisten membangun kemandirian pangan.
Padahal, pengelolaan pangan harus menggunakan pendekatan holistik karena impor pangan sudah mencapai seperlima dari total impor yang menyebabkan defisit neraca pembayaran dua miliar dollar AS. Di saat yang sama, alih fungsi lahan pertanian terus terjadi.
“Untuk menyelesaikan itu tidak bisa dengan mekanisme perdagangan, tetapi harus membangun pertanian dalam negeri. Perlu grand design yang kuat, dari pertanian, perdagangan, dan industri yang dikendalikan Badan Pangan yang otonom,” tutupnya.
Komentar Via Facebook :