https://www.elaeis.co

Berita / Sumatera /

Indonesia Belum Merdeka, Sumut Sudah Ekspor Minyak Sawit

Indonesia Belum Merdeka, Sumut Sudah Ekspor Minyak Sawit

Ilustrasi minyak mentah sawit (CPO). Foto: Kontan/Muradi


Medan, Elaeis.co - Direktur Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Dr Tungkot Sipayung, pernah mengungkapkan kalau saat ini Sumatera Utara (sumut) sudah jauh ketinggalan dibanding provinsi lain dalam hal produktivitas dan luasan perkebunan kelapa sawit. Sumut sudah tidak lagi berada di nomor urut satu, melainkan urutan ketiga di bawah Provinsi Riau dan Kalimantan Barat.

Sumut sebenarnya merupakan pionir perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Bahkan kejayaan itu sudah dicapai pada tahun 1940-an. "Tepatnya sebelum datangnya penjajah Jepang," kata Soedjai Kartasasmita (95), begawan sawit nasional, dalam acara Hari Sawit Nasional dan Hari Perkebunan 10 Desember yang diunggah di channel GAPKI IPOA. 

Menurutnya, awal kisah manis sawit di Sumut -saat itu masih bernama Sumatera Timur- ditorehkan oleh investor asal Jerman yang membuka perkebunan sawit di Pulo Raja dan Marihat. Investor tersebut berhasil membuat alat untuk memudahkan pemrosesan minyak sawit.

Penemuan teknologi itu memberikan pengaruh besar terhadap produktivitas minyak sawit asal Sumut saat itu. "Bayangkan, saat itu ekspor minyak sawit dari Pelabuhan Belawan, Sumut, sekitar 200.000 ton per tahun. Sebagian besar diproduksi oleh investor Jerman itu," kata Soedjai.

Kala itu jumlah 200.000 ton sudah sangat besar. Bahkan Nigeria dan sejumlah negara di benua Afrika yang juga produsen sawit tak mampu menghasilkan minyak sawit sebanyak yang dihasilkan Sumut. 

Tetapi industri perkebunan sawit di Sumut mengalami kemunduran saat penjajah Jepang masuk menggantikan kolonialisme Belanda. Saat Jepang kalah dan kemudian Belanda kembali masuk ke Indonesia, perkebunan sawit di Sumut bangkit kembali. 

Kebangkitan itu tak berlangsung lama. Kemunduran kembali terjadi saat Presiden Soekarno menggelorakan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang fokus pada perebutan Irian Barat (kini Papua), lalu dilanjutkan aksi nasionalisasi seluruh perusahaan perkebunan milik asing di Indonesia serta aksi ganyang Malaysia. 

Derom Bangun, begawan sawit lainnya, menambahkan, seluruh perusahaan perkebunan yang dinasionalisasi Bung Karno belakangan ditawarkan kembali oleh Presiden Soeharto ke pemilik semula. Kecuali perusahaan bekas milik pemerintah Belanda yang tetap menjadi milik Indonesia dan diubah menjadi BUMN dan BUMD. 

"Ini terjadi ketika pemerintah Orde Baru gencar mengundang penanaman modal asing (PMA) di tahun 1967," ujar pria kelahiran tahun 1940 ini. 

Diantara perusahaan yang dinasionalisasi oleh Sukarno adalah Socfin, perusahaan perkebunan sawit dan karet asal belgia. Derom mengaku sempat menjadi pegawai Socfin di tahun 1967. Pada tahun 1968 Socfin kemudian berubah nama menjadi Socfindo. 


 

Komentar Via Facebook :