Berita / Nasional /
Indonesia Hadapi Tuntutan Pasar Global dan EUDR: Koalisi CSO Indonesia Desak Perbaikan Tata Kelola Komoditas
Jakarta, elaeis.co - Peraturan Uni Eropa tentang Bebas Deforestasi (European Union Deforestation-free Regulation/EUDR) merupakan langkah perbaikan tata kelola komoditas kehutanan yang berkelanjutan, dan dukungan dari pemerintah Indonesia menjadi sangat krusial dalam proses regulasi ini. EUDR bertujuan untuk mengurangi deforestasi yang terkait dengan komoditas yang diperdagangkan di Uni Eropa, termasuk kelapa sawit, kayu, kopi, kakao, kedelai, karet, sapi dan produk turunannya, sehingga mendorong produsen untuk meningkatkan keinginan dalam melakukan praktik pertanian dan kehutanan.
Langkah-langkah strategi pemerintah Indonesia dalam memastikan tata kelola komoditas bebas deforestasi dan berkelanjutan sangat penting dalam menghadapi EUDR. Indonesia yang memiliki 5 komoditas terdampak peraturan EUDR yaitu kayu, sawit, kakao, kopi dan karet, telah mulai mengambil langkah-langkah persiapan mengukur persyaratan EUDR.
Pada tanggal 2 Oktober 2024 lalu, Komisi Uni Eropa mengumumkan usulan tertundanya penerapan EUDR selama 12 bulan. Implementasi yang semula direncanakan pada 30 Desember 2024, diundur menjadi 30 Desember 2025 untuk perusahaan besar dan 30 Juni 2026 untuk usaha mikro dan kecil. Penundaan ini memberikan waktu tambahan bagi Indonesia dan negara produsen lainnya untuk menyesuaikan diri dengan regulasi tersebut.
Koalisi Masyarakat Sipil (CSO) Indonesia, yang terdiri dari 45 organisasi termasuk LSM, serikat petani dan buruh perkebunan, organisasi Masyarakat Adat, komunitas lokal, serta perwakilan perempuan dan pemuda, menyampaikan pernyataan bersama terkait pentingnya perbaikan tata kelola komoditas Indonesia dalam menghadapi tuntutan pasar global yang semakin ketat, khususnya terkait penerapan EUDR di Jakarta pada Senin, (7/10) kemarin.
Kampanye Senior Kaoem Telapak, Denny Bhatara mengatakan rencana tertundanya penerapan EUDR adalah langkah yang tidak strategis karena akan memperlambat perbaikan tata kelola komoditas yang sedang berjalan di Indonesia.
“Kaoem Telapak telah aktif memantau regulasi EUDR sejak tahun 2020, sejak regulasi ini masih dalam bentuk komunike. Kami melihat EUDR adalah peluang untuk melakukan perbaikan tata kelola komoditas di Indonesia,” ujar Denny dalam siaran pers yang diterima elaeis.co pada Selasa, (8/10).
Meskipun usulan yang dimaksudkan ini dimaksudkan untuk memberi waktu tambahan kepada negara mitra dagang Uni Eropa untuk menyesuaikan diri dengan peraturan tersebut, yang diselenggarakan untuk menyayangkan terbitnya usulan yang sepanjang pelaksanaan penuh Peraturan ini, karena dapat berdampak pada lambatnya upaya-upaya perbaikan di sektor komoditas yang dalam satu tahun terakhir ini tengah berlangsung.
Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Mutttaqien menyebutkan bahwa ada tiga aspek penting dalam EUDR yang diperlukan Indonesia untuk mendorong perbaikan tata kelola, yaitu antideforestasi, legalitas, dan ketelusuran.
“Jika EUDR menunda maka faktor eksternal yang mendorong negara dan industri untuk memperbaiki dirinya menjadi tidak ada,” tuturnya.
Menurut Marcel Andry, Kepala Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), EUDR merupakan momentum perbaikan tata kelola sawit di Indonesia. Menurut Andri sejak 2015 petani sawit swadaya binaan SPKS sudah menyiapkan perbaikan tata kelola.
“Kami menyiapkan data poligon, titik kordinat, untuk menyelesaikan persoalan legalitas. Rencana tertunda EUDR tidak ada manfaatnya bagi petani. Kami sangat menyanyangkan dengan rencana tertunda EUDR ini,” dia.
Selain itu, Juru Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Ully Artha Siagian, mengatakan bahwa EUDR memang bisa diletakkan sebagai momentum perbaikan tata kelola, namun Pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban melakukan perbaikan, dengan atau tanpa EUDR.
“Tidak ada jaminan EUDR akan lebih kuat jika ditunda selama satu tahun. Harusnya pilihan menunda EUDR tidak dipilih oleh Komisi Uni Eropa. Kita mau uji, apa barang ini (EUDR - red) efektif atau tidak. Bagaimana kita tahu, kalau barangnya belum diuji?” kata Ully.
Terlepas dari kemungkinan tertundanya pelaksanaan EUDR, urgensi untuk memperbaiki tata kelola komoditas tetap tinggi, mengingat kebutuhan pasar global yang terus meningkat dan komitment Indonesia untuk mengatasi krisis iklim dari sektor FOLU (Hutan dan Tata Guna Lahan).
Komentar Via Facebook :