https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Indonesia, Raja Sawit yang Masih Bisa Ditipu

Indonesia, Raja Sawit yang Masih Bisa Ditipu

Direktur Eksekutif PASPI, Dr Tungkot Sipayung, saat berbicara dalam webinar yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Pertanian Universitas Diponegoro dan PASPI, Sabtu (24/7) siang (tangkapan layar


Medan, Elaeis.co - Sejak tahun 2006 Indonesia menjadi raja sawit dunia, baik dari sisi luas lahan maupun produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Dengan status itu harusnya Indonesia bisa mengatur perdagangan minyak sawit global. Namun yang terjadi justru sebaliknya.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengatakan, sampai saat ini Indonesia selalu menuruti kemauan pembeli CPO.

“Nyatanya Indonesia masih bisa ditipu. Kita sering dibohongi dalam banyak hal terkait sawit, dan penipuan itu dilakukan pihak Eropa sejak abad lalu dan berlangsung hingga kini,” katanya dalam webinar yang digelar oleh Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) dan Himpunan Mahasiswa Pertanian Universitas Diponegoro, Sabtu (24/7/2021) siang.

Penipuan itu, kata Sahat, sudah dimulai sejak proses pengolahan awal tandan buah segar (TBS) hingga ketika mau dijadikan minyak goreng. Eropa menghendaki proses sterilisasi dalam pengolahan buah sawit supaya minyak goreng menjadi lebih jernih. Padahal, dampaknya luar biasa karena banyak kandungan gizi sawit yang hilang.

“Warna merah pada minyak sawit atau red palm oil yang banyak diproduksi di Afrika dan penuh gizi, justru tidak pernah disukai oleh Eropa. Nah, kita di Indonesia ini, dari dulu sampai sekarang malah ikut-ikutan standar Eropa. Tak heran kalau minyak goreng yang kita produksi menjadi bening, tapi justru banyak gizinya seperti karetonoids dan vitamin A hilang,” bebernya.

Lucunya, beberapa tahun lalu pemerintah sempat mewajibkan fortifikasi vitamin A ke dalam minyak goreng. “Dan vitamin A-nya impor. Untunglah Kementerian Perindustrian waktu itu punya inisiatif memerintahkan produksi vitamin A dalam negeri untuk kebutuhan produksi minyak goreng,” tukasnya.

Direktur Eksekutif PASPI, Dr Tungkot Sipayung, juga punya penilaian senada. Dia heran Indonesia yang berstatus raja sawit masih menari dari genderang yang ditabuh negara lain. “Kita raja sawit, seharusnya jadi pemimpin, bukan malah mengikuti maunya negara lain,” tandasnya.

Menurutnya, proses hilirisasi produksi sawit yang belum sebanyak dan sekuat rival sawit bebuyutan, Malaysia, menyebabkan Indonesia terpaksa tunduk pada kemauan pasar. “Tapi harus disyukuri dalam 10 tahun terakhir Indonesia sudah bisa membuat 200 produk hilir dari sawit,” sebutnya.

Agar benar-benar menjadi raja sawit dunia, sekaligus mampu memenuhi pangan dan gizi dunia, Tungkot menyarankan produsen sawit Indonesia memaksimalkan potensi vitamin A dan E yang dikandung sawit sehingga tidak terbuang percuma seperti yang selama ini terjadi.

“Kita bisa menjadi produsen vitamin A dan vitamin E terbesar di dunia hanya dari sawit. Syaratnya satu, lakukan perbaikan proses pengolahan dalam produksi sawit. Jangan lagi banyak yang dibuang,” ucapnya.

Ia meminta semua pihak, termasuk para mahasiswa Universitas Diponegoro, menyadari betapa pentingnya sawit bagi Indonesia dan kehidupan manusia secara umum. Bahkan, katanya, biomassa sawit saja bisa dijadikan bahan yang berguna bagi manusia.

“Fiber dan plastik sudah bisa dibuat dari tandan kosong atau tankos sawit. Itu satu contoh kecil saja.Banyak manfaat sawit yang bisa kita peroleh. Ingat, banyak negara lain di dunia ini yang tidak ingin melihat Indonesia berjaya dalam proses hilirisasi sawit. Jadi, mari kita maksimalkan potensi sawit kita,” ajaknya.

Komentar Via Facebook :