Berita / Bisnis /
Industri Sawit Terbukti Tangguh di Tengah Pandemi
Jakarta, Elaeis.co - Eskpor minyak sawit Indonesia meningkat tajam di tengah pandemi. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik), ekspor pada April 2021 mencapai US$ 18,48 miliar.
Angka itu tumbuh 52% dibanding periode yang sama tahun lalu yang hanya mencapai US$ 12,16 miliar. Naiknya ekspor sawit adalah dampak dari meningkatnya permintaan komoditas dan harga dari komoditas tersebut.
Industri sawit juga menjadi salah satu penopang dari surplusnya neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2020. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada 2020 mengalami surplus sebesar US$ 21,74 miliar. Dari total surplus tersebut, ekspor produk kelapa sawit menyumbang nilai ekspor sebesar US$ 22,97 miliar, atau meningkat sebesar 13,60% dibandingkan nilai ekspor pada 2019.
Di dalam negeri, permintaan produk olahan sawit juga mengalami peningkatan. Sepanjang 2020, konsumsi domestik meningkat 3,6% dibandingkan tahun sebelumnya, atau menjadi 17,35 juta ton. Peningkatan ini disebabkan naiknya permintaan oleokimia untuk konsumsi sabun dan bahan pembersih, serta meningkatnya permintaan untuk biodiesel terkait kebijakan B30.
Deputi V Kemenko Perekonomian, Musdalifah Machmud, mengakui bahwa industri sawit memiliki kekuatan menangkal imbas pandemi. Menurutnya, salah satu faktor penunjang kekuatan industri sawit adalah dibutuhkannya komoditas tersebut oleh banyak manufaktur lain. Untuk lebih menguatkan akar industri sawit, pemerintah akan terus mendorong hilirisasi produk secara massif.
“Tentang industri sawit, kita mendorong supaya investasi bukan hanya di hulu tetapi juga di hilir. Ini untuk menjaga daya saing produk. Kita harus perluas diversifikasi baik untuk jenis industri seperti farmasi, pangan dan lain-lain. Juga untuk keperluan sehari-hari seperti sabun, lilin, makanan,” katanya seperti dikutip Beritasatu.com, Senin (24/5).
Menurut Musdalifah, salah satu program prioritas pemanfaatan sawit adalah energi baru terbarukan melalui mandat penggunaan B100. “Terkait B100, kan kita sudah riset supaya demand kita tidak tergantung dengan demand luar karena produksi kita akan terus bertumbuh. Kita juga melakukan replanting, diharapkan produktivitasnya bisa tumbuh hingga tiga kali lipat dari sebelumnya,” katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian (Kemperin), Eko SA Cahyanto optimistis industri sawit bisa bertahan menangkal imbas pandemi sekaligus tetap menjadi komoditas andalan ke depan. “Optimisme itu disokong salah satunya dengan keberhasilan memperjuangkan tarif masuk komoditas sawit ke Eropa,” katanya.
Menurutnya, skema perjanjian perdagangan komprehensif dengan beberapa negara Eropa seperti Swis berpeluang untuk lebih meningkatkan akses pasar bagi produk industri Indonesia, termasuk produk sawit dan turunannya. Isu keberlangsungan produk sawit Indonesia dan turunannya tidak perlu dikhawatirkan setelah diterapkannya Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
“Indonesia memiliki potensi besar untuk mengisi kebutuhan produk industri berbahan sawit dan turunannya di Eropa yang selama ini sebagian besar dipasok oleh negara transit seperti Pantai Gading, Kepulauan Solomon, dan Malaysia,” katanya.
Kemperin, katanya, akan terus mendorong ekspor produk sawit dan turunannya ke Swis langsung dari Indonesia sebagai negara produsen. Produk hilir sawit yang potensial untuk masuk ke pasar Uni Eropa, termasuk Swiss, antara lain adalah lemak padatan pangan (confectionary), personal wash (sabun, fatty acid, fatty alcohol, glycerin), hingga bahan bakar terbarukan (biodiesel FAME).
Komentar Via Facebook :