Berita / Nusantara /
Ini Salah Satu Faktor Perbedaan Harga Plasma dan Swadaya
Jakarta, elaeis.co - Harga hasil kebun kelapa sawit petani plasma dan swadaya diatur dalam Permentan Nomor 1 Tahun 2018 tentang tata niaga kelapa sawit. Saat ini Permentan itu justru diusulkan untuk kembali dikoreksi dan dievaluasi.
Tujuannya, agar pemerataan harga kelapa sawit dilini petani terjadi. Sehingga perekonomian terdongkrak dan kesejahteraan petani semakin terjamin.
Menurut Sekertaris Jenderal DPP APKASINDO Perjuangan Sulaiman H Andi Loeloe, saat ini memang sudah saatnya Permentan itu untuk dievaluasi. Mengingat keadaan saat ini sudah berbeda dengan sebelum peraturan itu dicetuskan.
"Memang perlu dikaji ulang," ujarnya kepada elaeis.co, Minggu (22/5).
Masih jelas diingatannya, Permentan itu dilahirkan lantaran timbul gejolak Dilini masyarakat terkait harga petani plasma dan swadaya kala itu. Dimana harga sawit plasma justru sama dengan harga sawit swadaya yang notabenenya menggunakan bibit yang tidak berkualitas.
Diceritakannya, pada tahun 90-an kata Andi, petani dianjurkan pemerintah untuk menanam komoditi yang bisa dijadikan penopang kehidupan. Saat itu juga tidak ada larangan atau paksaan agar petani menanam satu jenis komoditi saja.
Dari itu munculah petani kelapa sawit yang menanam tanaman bernama latin elaeis itu. Lambat Kaun petani justru berani kampayekan bahwa kelapa sawit lebih baik dari komoditi lain.
"Lalu munculah pemikiran petani untuk bercocok tanam kelapa sawit. Saat itu pemerintah menerapkan aturan bahwa untuk menanam kelapa sawit, petani harus berkelompok tidak boleh sendiri-sendiri. Maka inilah awal mula petani plasma," terangnya.
Jadi saat itu terbentuklah kelompok-kelompok tani, dimana struktur organisasinya juga lengkap. Malah ada juga yang perblok dengan satu bloknya mencapai 40 hektare.
Dari sini kemudian, hadirlah perusahaan yang dipercayakan untuk mendampingi para kelompok tani tadi. Baik itu untuk menampung hasil panen dan sebagainya.
Saat itu perawatan kebun dilakukan bersama-sama dan serentak. Saat memupuk maka seluruhnya memupuk. Sehingga hasil kebun baik itu berat, kualitas hampir merata dan sama sebab ada standar perawatan tadi.
"Nah melihat kesuksesan itu, setelah masuk reformasi perkebunan rakyat mulai berkembang. Pergerakan petani kelapa sawit dari bawah semakin mantap. Tapi sayang saat itu belum didasari dengan kemampuan dan wawasan yang luas," bebernya.
Petani swadaya hanya berpikir hanya untuk memiliki kebun kelapa sawit saja. Tanpa memikirkan bibit yang baik dan perawatan yang maksimal. Sehingga, menggunakan bibit sedapatnya saja. Nah inilah dampak yang terjadi saat ini.
Usai perkebunan rakyat melebar, hasil pun mulai di tuai. Namun di sinilah mukai gejolak antara petani plasma dan swadaya di mulai. Harga kelapa sawit plasma justru disamakan dengan petani swadaya meski dengan perawatan yang berbeda. Malah bisa dibilang kualitas juga tidak sama.
"Jadi petani swadaya menjual ke pengepul, pengepul menjual ke PKS. Saat di PKS buah kelapa sawit swadaya dan plasma bercampur. Sehingga saat uji rendemen hasilnya akan rendah. Sehingga anjloklah harga petani plasma dan beruntunglah harga petani swadaya. Singkat cerita muncullah Permentan itu," bebernya.
Belakangan, berinisiatif memberantas kebun dengan bibit tidak berkualitas tadi, pemerintah hadirkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) lewat BPDPKS. Dimana kebun kelapa sawit yang produksinya tidak sampai 10 ton dalam setahun, maka akan diremajakan.
"Nah kondisi saat ini, kualitas kebun terus membaik. Hasil semakin tinggi. Sehingga perlu Permentan itu dievaluasi kembali," tandasnya.
Komentar Via Facebook :