https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

'Jalan Tol' Bisnis Ilegal Minyak Sawit

Tumpukan Tandan Buah Segar (TBS) di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang akan diolah menjadi minyak sawit. foto: ist


Data aliran keuangan gelap hasil analisis Prakarsa.Jakarta, elaeis.co - Warna-warni tentang industri kelapa sawit Indonesia terus saja menjadi cerita menarik.  

Selain masih berhadapan dengan kegetolan kelompok asing mengumbar dan mencari-cari kejelekan tanaman asal Mauritus Afrika ini, di dalam negeri, kelapa sawit ini juga dihadapkan pada persoalan yang terus menggunung. 

Di tingkat elite, Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar oleh Komisi IV DPR RI dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Pertanian (Kementan), membikin luasan kebun kelapa sawit di Indonesia semakin menghadirkan pertanyaan besar. 

Sebab dalam RDP itu Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin terang-terangan mengatakan bahwa ada temuan sekitar 3 juta hektar kebun kelapa sawit tanpa izin di Kalimantan. 

Alhasil omongan ini semakin membikin orang yakin dengan luasan kebun kelapa sawit yang disodorkan oleh sejumlah Non Government Organization (NGO). 

Adalah Forest Watch Indonesia (FWI) menyebut bahwa luas konsesi perusahaan kelapa sawit di Indonesia mencapai 19 juta hektar. 

Sawit Watch malah menyodorkan angka yang lebih gendut lagi; 22 juta hektar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menyodorkan angka di antara sodoran dua NGO tadi; lebih dari 20 juta hektar. 

Semua angka di atas dipastikan jauh di atas luasan yang sudah ditetapkan oleh Kementan Desember tahun lalu; 16,38 juta hektar. Angka ini tidak melulu konsesi korporasi. 

Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Kementan, Heru Tri Widarto merinci, di dalam angka itu ada kebun rakyat sekitar 42% atau seluas 6,89 juta hektar. Praktis, konsesi korporasi hanya sekitar 9,4 juta hektar. 

Pertanyaan yang kemudian muncul, kemana luasan konsesi korporasi lainnya? Lantas oleh beragamnya pernyataan luasan kebun kelapa sawit tadi, benarkah produksi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia hanya sebanyak 49,12 juta ton seperti yang belum lama ini dirilis Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)? 

Lalu, benarkah ekspor minyak sawit Indonesia tahun lalu hanya 34 juta ton seperti yang dirilis oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dua bulan lalu? 

Kalau saja Perkumpulan Prakarsa tidak mengurai data ini, bisa jadi semua orang berpikiran positif saja; bahwa memang segitulah produksi minyak sawit Indonesia dan segitu pula lah ekspornya. 

Tapi lantaran hasil riset dan analisis itu, jadi kuat dugaan kalau produksi CPO Indonesia jauh dari apa yang dirilis oleh pemerintah maupun GAPKI. 

Prakarsa merilis, praktik penjualan tak sehat yang menimbulkan aliran keuangan gelap (illicit financial flows) sangat kental terjadi di sektor minyak sawit ini. 

Lembaga ini menemukan bahwa setidaknya ada tiga macam praktik penjualan tak sehat minyak sawit ke negara lain yang pada akhirnya membikin negara merugi. 

Praktik pertama adalah perusahaan penjual minyak sawit dari Indonesia sengaja melaporkan jumlah minyak sawit yang dikirim kecil, tapi negara penerima malah mencatat angka yang lebih besar (undar invoicing). Praktik semacam ini memunculkan aliran duit gelap keluar (illicit financial outflow)

Praktik kedua, perusahaan pengirim membikin angka yang besar dalam pengirimannya, tapi negara penerima malah mencatat angka yang lebih kecil (over-invoicing). Dalam praktik semacam ini, terjadilah yang disebut aliran keuangan gelap masuk (illicit financial inflow)

Adapun tujuan dari over invoicing maupun under invoicing ini adalah mengurangi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bea keluar dan pungutan ekspor yang berlaku.            

Praktik ketiga, di Indonesia tidak tercatat ada pengiriman minyak sawit ke satu negara, tapi di negara itu ada tercatat menerima pengiriman minyak sawit dari Indonesia. 

*"Kami melakukan analisis ketidakcocokan atau kesalahan tagihan perdagangan minyak sawit di Indonesia dengan negara tujuan. Artinya adalah selisih antara catatan perdagangan ekspor minyak sawit dari Indonesia dengan catatan perdagangan impor di negara tujuan," cerita peneliti Prakarsa, Dwi Rahayu Ningrum saat berbincang dengan elaeis.co, tadi malam. 

Dari analisi yang dilakukan Prakarsa, pada rentang waktu 1989-2017, 'duit gelap' yang masuk dan keluar dari Indonesia mencapai USD49,16 miliar. 

Kalau dibandingkan dengan total ekspor, 'duit gelap' yang masuk mencapai 35,62% dari total ekspor dan 'uang gelap' keluar 7,65%. 

Yang membikin heran, ada sederet negara yang mencatat impor minyak sawit dari Indonesia tapi di Indonesia malah catatan ekspor ke negara itu tidak ada. Adalah Finlandia, Slovakia, Barbados dan Norwegia yang punya catatan itu. 

Finlandia mencatat impor minyak sawit dari Indonesia sebesar USD19,99 juta, Slovakia USD2,66 juta, Barbados USD1,92 juta dan Norwegia USD1,23 juta. 

Adapun negara dengan nilai aliran 'uang gelap' masuk terbesar lantaran tak ada catatan adalah Afghanistan yang mencapai USD238,43 juta dan Liberia USD117,47 juta.

"Kalau kemudian muncul fakta bahwa ada kebun sawit tanpa izin hingga 3 juta hektar, ini menjadi evidence bahwa sangat banyak sumber-sumber kerugian potensi penerimaan negara. Ini termasuk praktik illicit dan ilegal," kata perempuan 30 tahun ini. 

Jebolan Universitas Brawijaya Malang ini kemudian menyebut bahwa pemerintah musti segera mengkaji ulang secara mendalam soal misinvoicing itu. 

Apakah misinvoicing ini terjadi lantaran lemahnya pengawasan dan adanya insentif yang cenderung menguntungkan pelaku bisnis. atau seperti apa. 

"Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan --- audit nilai dan kuantitas ekspor --- terhadap perusahaan-perusahaan eksportir dan memfokuskan pada komoditas," katanya. 

Selain itu pemerintah dan parlemen juga perlu segera meninjau kembali rekomendasi dari World Custom Organization, Organisation for Economic Co-operation and Development atau United Nations untuk mencegah terjadinya potensi kehilangan penerimaan negara dan mengakomodirnya dalam bentuk regulasi domestik. 

Praktik ilegal yang disampaikan Prakarsa tadi, sebenarnya sudah didahului oleh praktik tak sehat di dalam negeri. 

Misalnya pemberlakukan Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL) dan potongan-potongan lain oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS) kepada petani yang selama ini luput dari perhatian pemerintah. 

BOTL ini sempat menjadi persoalan besar di kalangan petani di Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat dan provisi lain.


*catatan redaksi: pernyataan di atas telah mengalami proses pengeditan pada 20 April 2021 pukul 17:09 Wib. 

Komentar Via Facebook :