https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Jebolan D1 Beasiswa Sawit, Kamu Kerja Dimana Sih?

Jebolan D1 Beasiswa Sawit, Kamu Kerja Dimana Sih?

Dua orang (bersepatu kuning) anak beasiswa sawit program D1 angkatan 2021 asal Papua saat sedang berada di Bawen Jawah Tengah. foto: ist


Jakarta, elaeis.co - Sampai saat ini, banyak jebolan diploma satu beasiswa sawit bekerja di perusahaan sawit ketimbang di proyek Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) atau di kelembagaan petani sawit. 

Padahal misi awalnya, beasiswa sawit anak-anak petani dibikin untuk membantu mengembangkan kapasitas --- pengetahuan dan keterampilan petani --- dan kelembagaan petani itu.

"Setelah program BPDPKS ada, misi itu ditambah lagi dengan mendampingi teknis dan administrasi kelembagaan petani yang ikut PSR," cerita mantan Rektor Instiper, Dr. Purwadi, kepada elaeis.co belum lama ini. 

Tapi itu tadilah. Lulusan D1 itu justru tidak diberdayakan di sana. Alhasil, mereka diambil oleh perusahaan. 

"Jebolan D1 banyak. Sementara PSR butuh pendampingan. Mbok ya pekerjakan saja di sana. Mereka kompeten kok, buktinya mereka diterima bekerja di perusahaan besar," kata Purwadi.

Kalaupun lulusan D1 itu butuh penyesuaian, itu wajar. Dimana-mana orang-orang baru pasti butuh penyesuaian. Tapi prosesnya tidak akan seperti mereka yang tidak lulusan pendidikan kompeten. 

"Biar anak-anak itu mau, beri mereka gaji. Gajinya bisa dari BPDPKS atau dari dana pendamping desa di pemerintahan. Kalau satu orang disuruh mengelola 100 hektar dengan gaji Rp2,5 juta perbulan, maka dalam setahun, butuh duit Rp30 juta," rinci Purwadi. 

Baca juga: Skenario Usang Beasiswa Sawit

Kalau ditengok sepintas, angka Rp30 juta memang besar. Tapi kalau dibagi 100 hektar, cuma Rp300 ribu perhektar. 

"Lantaran duitnya hanya segitu, dimasukkan pun biaya ini dalam rencana pembiayaan yang duitnya bersumber dari dana hibah Rp30 juta perhektar yang digelontorkan oleh BPDPKS itu, saya rasa enggak masalah," ujar Purwadi. 

Toh dengan pengeluaran yang cuma Rp300 ribu per hektar pertahun itu, petani sudah bisa memanfaatkan lulusan D1 tadi untuk membantu membangun kelembagaan. 

"Biar lancar kerjanya, fasilitasi anak itu dengan aplikasi yang sudah ada. Sistem Informasi  Manajemen Pembangunan Perkebunan Sawit Rakyat (SIM-PPSR) dan Sistem Informasi Manajemen Permajaan Sawit Rakyat (SIM-PSR). Membangun kelembagaan lewat digitalisasi sudah sangat bisa dilakukan. Sebab kita sudah punya aplikasi ini," katanya. 

Purwadi tak menampik bahwa sesungguhnya tak mudah membangun SDM petani. Tapi justru itu teramat penting. 

Sebab petani lahan kering (perkebunan), rawan terhadap keberlanjutannya. "Kalau prospeknya bagus, potensial, semua akan menanam, tapi kalau prospeknya turun, dibabati lagi. Mereka mikir jangka pendek," terangnya. 

Lantaran itulah petani harus diajak berpikir bahwa bisnis perkebunan itu jangka panjang. "Agar mereka bisa kita bantu, mereka harus dibikin pintar, kita pinterke, kita transperke ilmu agar mereka berdaya saing dan bisa berpikir," ujarnya.

SDM mumpuni ini juga kata Purwadi penting untuk membangun kesetaraan kemitraan. "Pengalaman, petani selalu dipihak yang tidak diuntungkan. "Kalau petani mau bermitra, maka harus sama pintarnya dengan mitranya," Purwadi tertawa. 

Data yang diperoleh elaeis.co, dari 2016 hingga tahun 2020, sudah 2.605 orang yang menikmati program beasiswa sawit. Dari jumlah itu, 1.450 orang program D1, 920 orang program D3 dan 235 orang program D4. Mereka menimba ilmu di 6 lembaga pendidikan yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. 


 

Komentar Via Facebook :