https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Jika Ada yang Teriak Kencang, Tandanya Sudah Terima Dana

Jika Ada yang Teriak Kencang, Tandanya Sudah Terima Dana

Ilustrasi kebun sawit (Int.)


Jakarta, Elaeis.co - Pemerintah Indonesia sudah mengakhiri Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LoI) dengan Kerajaan Norwegia tentang Kerjasama Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and, Forest Degradation/ REDD+) terhitung mulai tanggal 10 September 2021.

Keputusan ini dilakukan karena Kerajaan Norwegia tak memenuhi janjinya untuk menyerahkan sejumlah dana bila Indonesia mampu menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) untuk dalam jumlah dan kurun waktu tertentu sesuai perjanjian.

Keputusan tegas pemerintah Indonesia itu diprediksi bakal mendapatkan kritikan keras baik dari LSM atau NGO lingkungan baik lokal maupun asing.

"Kalau mereka sudah berteriak kencang, meributkan kebijakan pemerintah, termasuk soal REDD+ itu, berarti benar asumsi saya bahwa itu tandanya mereka sudah terima dana dari bohirnya," kata founder dan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Dr Ir Tungkot Sipayung, kepada Elaeis.co, Senin (13/9/2021).

Bohir yang dimaksud Tungkot adalah donatur yang kemungkinan berasal dari Norwegia atau negara-negara lain di Eropa.

Tungkot menyebutkan tidak ada satupun NGO yang benar-benar idealis. Jika benar mencintai lingkungan, menurutnya, aktifis-aktifis lingkungan justru seharusnya mengkritik keras Eropa, termasuk Norwegia, yang merupakan emitter atau penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.  

Tungkot lalu mengungkapkan pola dan gerakan NGO asing dan dalam negeri, terutama terkait dana yang dikucurkan negara-negara yang jadi bohir mereka. Katanya, ada aksi di balik layar yang sedang diupayakan agar setiap dana bantuan asing, termasuk dana kompensasi REDD+ andai diserahkan Norwegia, agar diarahkan langsung ke rekening NGO, bukan melalui pemerintah.

"Jadi, katakanlah Uni Eropa mencanangkan dana hibah sebesar US$ 1 miliar untuk negara-negara di luar Eropa, NGO-NGO itu akan berupaya agar dana itu disalurkan ke mereka langsung. NGO-NGO itu akan menyampaikan sejumlah alasan. Misal, bahwa pemerintah sangat korup, melanggar HAM, dan lainnya," bebernya.

"Mereka berprinsip, enggak masalah kalau tidak semua dana dicairkan, yang penting dana itu disalurkan melalui mereka. Biarlah yang cair cuma US$ 750 juta, yang penting langsung mereka terima," tambahnya.

Meski respon NGO belum menggema, Tungkot meminta pemerintah tidak takut dan melanjutkan pengembangan sawit yang berkelanjutan. Termasuk melakukan hilirisasi.

Menurutnya, pemerintah bisa saja mengesampingkan pasar Uni Eropa jika negara-negara di kawasan itu terus saja menyalahkan Indonesia.

"Kalau Eropa menilai kita salah dalam mengembangkan sawit, ya sudah, enggak usah beli sawit. Kita mau lihat sejauh mana mereka mampu tanpa sawit. Apa tidak guncang ekonomi Eropa jika sawit tidak masuk ke benua biru itu," tandasnya.

Komentar Via Facebook :