Berita / Nusantara /
Kata ITB Tak Berbahaya, KLHK Malah Bilang Limbah B3
Jakarta, elaeis.co - Sampai sekarang para pemilik Pabrik Kelapa Sawit (PKS) masih tak habis pikir kenapa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tetap ngotot menjadikan Spent Bleaching Earth (SBE) masuk kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Di Amerika maupun Eropa, SBE yang banyak kandungan ikatan karbon rangkap dan mudah teroksidasi lantaran berasal dari pemurnian minyak jagung, rapeseed oil, soybean atau sunflower oil (banyak mengandung unsaturated fatty acid), cuma dimasukkan dalam kategori Hazardeous Waste, cukup ditimbun (land fill) di lokasi tak berpenduduk.
Di Malaysia, SBE-nya yang bersumber dari minyak sawit, hanya digolongkan sebagai Schedule Waste. SBE itu diolah dulu seperti cara orang di Amerika maupun Eropa, baru dijadikan land fill atau yang lain.
"Lantaran di Malaysia SBE bukan B3, pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan enggak perlu pakai ijin dari Malaysian Environmental Quality (MEQ). Kalau di Indonesia MEQ itu KHLK lah," cerita Direktur Eksekutif Dewan Minyak Nabati Indonesia (DMNI), Sahat Sinaga saat berbincang dengan elaeis.co, kemarin.
Sembilan tahun lalu kata ayah tiga anak ini, Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN) sudah meminta Laboratorium Buangan Padat dan B3 Fakultas Teknik Lingkungan ITB, untuk menguji SBE yang diklasifikasikan oleh Tim Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) sebagai limbah B3 itu.
Terkait SBE, Filter Aid Cake, Scum cake dan Activated Carbon hasil analisanya antara lain; limbah SBE tidak mengandung logam berbahaya dan beracun. Malah bisa dimanfaatkan sebagai pupuk, bahan pembenah tanah dan sumber energi.
Terus, minyak nabati yang terikat dalam SBE bisa direcovery. "Oleh hasil itu, Laboratorium Buangan Padat dan B3 ITB mengusulkan bahwa SBE, Filter Aid Cake, Scum cake dan Activated Carbon bukan limbah B3, tapi limbah biasa (khusus) yang pengelolaan, pengangkutan dan penyimpanannya tidak memerlukan ijin khusus dari KLH," cerita jebolan ITB 1973 ini.
Nah, dari tahun 2011-2013 kata Sahat, hasil analisa ITB tadi sempat berterima. Ini kelihatan dari penilaian PROPER Biru (taat aturan KLH) jika SBE disimpan dengan baik di lokasi pengumpulan limbah.
Tapi setelah 2014, SBE jadi masalah lagi. Yang tidak mengolah SBE langsung dicap merah alias tidak taat aturan KLH. "Waktu itu saya sudah usulkan lagi SBE itu bukan limbah B3, tapi enggak ditanggapi," ujar Sahat.
KLHK mencap SBE itu limbah B3 kata Sahat lantaran SBE dianggap residu filtrasi, seperti yang tertera pada PP 18 tahun 1999 jo PP 85 tahun 1999 tentang Pengolahan Limbah.
Lantaran limbah B3, penyimpanan sementara, angkutan, penyimpanan dan pengolahan SBE harus pakai ijin khusus dari KLH. Ijin itu umurnya pun singkat, cuma setahun.
Lelaki kelahiran Nainggolan Sumatera Utara (Sumut) ini pun cerita apa itu SBE. "CPO itu kan ada getahnya, kotoran, zat warna dan bau tak sedap. Bau tak sedap itu ada karena CPO mengandung Asam Lemak Bebas (ALB)," katanya.
Nah, kalau CPO tadi mau dipakai untuk bahan makanan atau non makanan, musti dimurnikan dulu. Proses pemurniannya ada dua alur.
"Pertama, untuk menghilangkan getah, kotoran dan zat warnanya, dipakai bahan Bleaching Earth (BE). Lalu untuk menghilangkan bau tak sedap tadi dilakukan lewat proses Deodorization," Sahat merinci.
Sewaktu proses penyaringan, getah, kotoran dan warna akan terikat (adsorb) pada BE dan tertinggal di kain saringan. Ini disebut residual filtrasi.
"BE yang menyerap getah, zat warna, kotoran dan sebagian minyak sawit (sekitar 18% dari berat BE) inilah yang disebut dengan SBE itu," katanya.
Industri sawit Indonesia yang bernaung di dalam assosiasi semacam GIMNI, AIMMI, APOLIN dan APROBI kata Sahat masih sangat berharap KLHK mengelompokkan SBE sama dengan metoda yang berlaku di Malaysia.
Sebab minyak nabati yang diolah di Indonesia dan Malaysia adalah minyak sawit, bukan minyak nabati polyunsaturated fatty acid yang bisa terbakar sendiri sewaktu musim panas.
"Artinya SBE dimasukkan saja sebagai Schedule Waste from Spesific Sources dan dinyatakan sebagai limbah khusus, tapi bukan limbah B3," katanya.
Kalau sudah menjadi limbah khusus kata Sahat, ijin penyimpanan,angkutan, penimbunan dan pengolahan limbah khusus, diperoleh dari Kementerian teknis terkait saja, bukan masing-masing aktivitas ijin khusus yang berlaku setahun seperti yang dilakukan KLH.
Limbah khusus harus diolah lebih lanjut dengan pola yang disetujui oleh KLHK . Salah satu opsi yang disodorkan adalah mengolah SBE menjadi De-OBE (De Oiled BE) dengan kandungan minyak maksimum 3% dan Recovered Palm Oil (R-Oil), identik dengan apa yang telah dilakukan di Malaysia.
"De-OBE itu bisa berfungsi sebagai bahan substitusi pasir saat membikin bahan bangunan atau land filling. R-Oil jadi bahan baku pembuat bahan bakar berbasis Bahan Bakar Nabati (BBN) atau bisa juga untuk bahan Oleochemicals," Sahat mengurai.
Intinya kata Sahat, kalau SBE sudah diklasifikasikan sebagai non–B3, berarti sudah ada kepastian aturan, tidak lagi multi tafsir seperti sekarang.
Operasional industri pengolahan minyak nabat atau hewani akan apple to apple dengan industri sejenis di Malaysia, persaingan usaha pun menjadi identik (competitif).
Kepastian itu juga kata Sahat akan meringankan beban mental dan gairahkan investasi. "Investor akan mendirikan 14 unit Solvent Extraction Plant di 9 zona Industri pengolahan minyak sawit. Investasi ini berkisar Rp1,3 triliun hingga Rp1,5 triliun. Terus, employment di berbagai daerah akan berkembang untuk mengoperasikan industri pengolahan SBE ini," ujarnya.
Tapi kalau KLHK tetap ngotot mengatakan bahwa SBE itu adalah limbah B3, "Ada baiknya semua refinery minyak sawit di Indonesia ini ditutup saja. Sebab minyak yang dihasilkan atau dimurnikan itu pasti terkontaminasi limbah B3, ini berbahaya untuk dikonsumsi orang, apalagi bayi," pintanya.
Komentar Via Facebook :