Berita / Nusantara /
Kegiatan Pengembangan Kebun Kakao Terus Menyusut
Jakarta, Elaeis.co - Kegiatan pengembangan kebun kakao di Indonesia terus mengalami penyusutan. Tahun ini, kegiatan pengembangan kakao hanya menargetkan seluas 3.175 ha.
Koordinator Tanaman Penyegar Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar, Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, Endy Pranoto, mengatakan, kegiatan pengembangan kakao tersebut terdiri dari peremajaan seluas 2.925 ha dan perluasan 250 ha.
Bantuan utama pengembangan kakao dari APBN 2021 adalah benih 1.000 batang per ha, pupuk NPK 200 kg/ha, pupuk organik 0,7 ton/ha, dan pohon penaung 200 batang/ha.
“Pengembangan kakao tahun ini jauh berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2020 pengembangan kakao mencapai 4.990 ha, terdiri dari peremajaan 4.450 ha dan perluasan 740 ha. Tahun 2019 seluas 8.000 ha, terdiri dari peremajaan 6.660 ha dan perluasan 2.080 ha,” bebernya, dikutip Agrofarm.co.id.
Luas areal kakao pada tahun 2020 mencapai 1.528.300 ha dengan produksi 713.378 ton, turun dibanding tahun 2019 yang mencapai 1.560.900 ha dengan produksi 734.796 ton. Penurunan luas areal terjadi sejak tahun 2017, antara lain disebabkan oleh perubahan iklim yang berimbas pada perubahan penggunaan lahan dan sebagian tanaman tua dan rusak.
Dia menjelaskan, daerah sentra kakao terbesar adalah Sulawesi Tengah, mencapai 279. 298 ha atau 18% dari luas areal kakao nasional dengan produksi 17% dari total produksi nasional. Disusul Sulawesi Tenggara seluas 246.296 ha, Sulawesi Selatan seluas 201.216 ha, Sulawesi Barat seluas 144.281 ha, Sumatera Barat seluas 114.746 ha, dan Aceh seluas 99.267 ha.
Pada tahun 2020, 98% dari total luas kakao nasional merupakan perkebunan rakyat, perkebunan besar negara 1%, dan perkebunan besar swasta 1%. Luas tanaman menghasilkan kakao mencapai 1.010.240 ha (66% dari total luas kakao nasional), tanaman belum menghasilkan 269.612 ha (18%), tanaman tua dan rusak 248.531 ha (16%).
Menurutnya, produktivitas rata-rata nasional kakao sejauh ini masih di bawah potensinya. Penyebabnya adalah tanaman tua, rusak, tidak produktif mencapai 31%, pemeliharaan kurang intensif; dan inkonsistensi penerapan praktik budidaya terbaik (Good Agricultural Practices). “Juga serangan organisme pengganggu tanaman utama, dampak perubahan iklim, sarana produksi tidak tersedia baik jumlah maupun waktu,” bebernya.
Kualitas produk juga masih rendah karena manajemen panen dan pasca panen belum optimal, sarana kurang memadai, belum difermentasi (biji kakao yang difermentasi kurang dari 10%), produk tidak seragam kualitasnya, belum ada insentif harga sehingga perbedaan harga kakao fermentasi dan non fermentasi tidak berbeda jauh, serta kurangnya inovasi teknologi.
“Kelembagaan petani lemah karena petani masih bekerja secara individual, lemah permodalan dan akses pembiayaan, posisi tawar rendah, capacity building masih kurang, belum terjalin kemitraan usaha, lemahnya kapasitas dan kapabilitas SDM, serta lemahnya pendataan,” urainya.
Komentar Via Facebook :