https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Kejanggalan RPP UU Cipta Kerja di Mata Para Pakar

Kejanggalan RPP UU Cipta Kerja di Mata Para Pakar

Ilustrasi Omnibus Law


Elaeis.co - Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) nomor 11 tahun 2020 dinilai masih kental dengan ego sektoral. Sebab, ada yang tidak nyambung antara satu dengan yang lainnya.

Hal itu disampaikan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Budi Mulyanto saat menjadi pembicara pada webinar yang digelar oleh DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Selasa malam lalu.

"Dari analisis yang saya bikin, antara RPP yang satu dengan yang lain, hampir tidak ada keterhubungan," kata pria berusia 64 tahun itu.

Bahkan, Founder dan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung menyampaikan hal yang senada. Dia mengatakan, dalam RPP UU Ciptaker justru hanya ada disebut Menko Perekonomian  tak ada kementerian yang lain.

"Ada yang keliru dalam penyusunan RPP itu. Di UUCK tidak ada disebut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri ATR/BPN. Yang ada di situ disebut Menko Perekonomian. Kalau penyusunan dilakukan sendiri-sendiri oleh kementerian, apa gunanya Undang-Undang Omnibuslaw ini?" tanya dia. 

Sedangkan Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Prof Sambas Sabarnurdin juga mengatakan, mestinya pembuatan undang-undang jangan sendiri-sendiri. 

"Menko seharusnya kasih pemahaman tentang kerja bersama itu, jangan sendiri-sendiri. Kalau kayak gini, cita-cita Presiden rasanya kayak terhambat," jelasnya. 

Ketua Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia (MBI), Sahat Sinaga juga merasakan hal yang sama. Dia mempertanyakan keseriusan kementrian menjiwai apa yang diharapkan Presiden. 

"Serius enggak mereka, atau malah masih dengan egosektoralnya? Sebab yang rasakan, UUCK itu sebagai angin segar, tapi RPP malah angin ribut yang mulai ada. Kalau mereka tidak bisa sejiwa, mestinya diberitahu Presiden," tegasnya. 

Tak berlebihan kalau guru besar dan pakar ini menyebut soal ketidakterhubungan tadi. Sebab pada persoalan lahan misalnya, RPP kehutanan dan perkebunan menganggap kalau sengkarut tanah yang terjadi adalah ulah rakyat yang main serobot atas tanah di kawasan hutan itu. 

Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah, kebijakan penataan ruang telah sejak lama dikangkangi oleh kebijakan kawasan hutan.

"Persoalan kunci untuk bisa melaksanakan amanah UUCK dengan baik adalah menyelesaikan masalah pertanahan. Kalau urusan pertanahan beres, yang lain bisa diberesi dengan baik," kata Budi. 

Petrus Gunarso, PhD juga mengingatkan bahwa UUCK akan sukses jika Tata Ruang Kesepakatan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. 
Hak-hak masyarakat diakui dan dihormati, apalagi kawasan hutan yang disebut-sebut itu, sebagian besar masih berdasarkan penunjukan. 

"Kalau KLHK menyebut bahwa kawasan hutan yang sudah dikukuhkan sudah lebih dari 80%, legitimasinya ini perlu dilihat. Kalau masyarakat enggak diajak berebuk dalam pentuan batas, maka legitimasi kawasan hutan yang dikukuhkan itu rendah dan akan menimbulkan permasalahan sengketa, konflik, perkara agraria yang tak akan pernah selesai," ujar Budi.

Jadi kata Budi, RPP tindak lanjut UUCK ini harus dilakukan tata batas tanah-tanah masyarakat yang sudah punya hak atas tanah.

Mulai dari Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Surat Keterangan Tanah (SKT), Girik, Letter C, dan surat-surat terkait penguasaan dan pemilikan tanah.

Hak ulayat masyarakat hukum adat harus dihormati dan dikeluarkan dari kawasan hutan. Selanjutnya tanah tersebut harus didaftarkan ke ATR/BPN untuk mendapatkan sertifikat tanah.

Kalau semua yang di atas dilakukan kata Budi, otomatis batas kawasan hutan juga akan semakin jelas dan mempunyai legitimasi.

"Artinya batas-batas diakui masyarakat dan akan dijaga pula oleh masyarakat," ujarnya. 

"Saya hampir bisa memastikan bahwa kehutanan bukan sekedar tidak serius bahkan seriusnya itu serius menghambat, serius mensabotase program, itu yang saya yakini. Saya yakin kehutanan memang berusaha melakukan sabotase terhadap persoalan pertanahan di Indonesia," kata Profesor Sudarsono Soedomo pula.

Bagi DR Sadino, rakyat sudah dibodohi dengan istilah kawasan itu dan itu sama saja dengan membodohi diri sendiri dan orang asing. "Siapa yang menikmati pemodohan ini, oknum NGO yang notabene antek asing," katanya. 

Pada akhirnya Profesor Yanto Santosa kemudian mengatakan, Tata Ruang Kesepakatan bukan sepihak adalah prakondisi mutlah yang diperlukan untuk tercapainya cita-cita UUCK.

Komentar Via Facebook :

Berita Terkait :