Berita / Nasional /
Kemendag Diminta Keluarkan Regulasi 'Rafaksi', Ini Tujuannya
Jakarta, elaeis.co - Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI seyogyanya mengeluarkan regulasi tentang pelaksanan kewajiban pembayaran rafaksi minyak goreng pada pelaku usaha yang telah selesai diversifikasi.
Usulan ini dikemukakan oleh Chandra Setiawan, selaku Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Mulyawan Ranamanggala, Direktur ekonomi (KPPU) melalui press release diterima oleh elaeis.co, Kamis (11/5).
Regulasi ini, menurutnya, suatu bentuk upaya antisipasi kerugian yang lebih besar pada masyarakat maupun iklim usaha soal rencana boikot atau pembatasan pembelian minyak goreng oleh para pelaku ritel sebagai akibat belum dibayarkannya tagihan rafaksi yang mencapai Rp 344 miliyar.
Sebagai informasi, adanya gangguan kebijakan berkaitan dengan rafaksi dapat menimbulkan iklim usaha yang tidak kondusif. Karena tidak memberikan kesempatan berusaha yang sama bagi para pelaku usaha.
Hal ini bertentangan dengan salah satu tujuan pembentukan Undang-undang nomor 5 tahun 1999. Untuk itu pentingnya bagi KPPU dalam ikut serta mengatasi persoalan tersebut.
Dikatakannya, KPPU melihat kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan rafaksi (selisih antara harga acuan keekonomian/HAK dengan harga eceran tertinggi (HET) yakni Permendag nomor 3 tahun 2022, berdasarkan penilaian menggunakan daftar periksa kebijakan persaingan usaha (DPKPU) dalam mempertimbangkan aspek efisien saat pelaksanaannya.
"Pemerintah berikan HAK minyak gorengan kemasan pada Januari 2022 sebesar Rp 17,260 yang berada dibawah harga rata-rata sebesar Rp 20,914. Merujuk Permendag nomor 3 tahun 2022 harga HET minyak goreng kemasan Rp 14.000," pungkasnya.
Kemudian, peraturan tersebut mengatur Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) supaya melakukan pembayaran subsidi dari selisih HAK dan HET yang ditetapkan sebagai akibat pelaksanaan kebijakan satu harga minyak goreng kemasan yakni Rp 14.000/kilogram.
Dengan tidak dilaksanakannya kebijakan Permendag nomor 3 tahun 2022, diprediksi terdapat tagihan rafaksi sebesar Rp 1,1 triliun yang tidak dibayarkan.
Klaim dana tersebut berasal dari produsen minyak goreng dan distributor yang mencapai lebih kurang Rp 700 miliar dan sebesar Rp 344,355.425.760 kepada 600 korporasi ritel modern di seluruh Indonesia.
Dalam persoalan ini, pelaku usaha mengalami dua kali kerugian, yakni selisih HAK dengan harga pasar dan selisih harga HAK dengan HET. Diduga Kemendag dan BPDPKS tidak dapat melakukan pembayaran karena peraturan diatas yang menjadi dasar pembayaran telah dicabut dan tidak terdapat peraturan peralihan yang mengatur proses pembayaran yang diamanatkan dalam peraturan tersebut.
"Pemerintah masih meminta pendapat hukum dari Kejagung untuk mengeluarkan kebijakan itu, ini hasil klarifikasi dari Kementerian Perdagangan dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo)," ungkapnya.
Sisi lain, KPPU melihat bahwa gap atau celah antara harga CPO dan harga minyak goreng di Indonesia semakin besar. Dari data rasio harga CPO/minyak goreng tercatat pada tahun 2021 sebesar 25%, sementara pada tahun 2023 menunjukkan angka sebesar 40%.
Dapat disimpulkan, bahwa estimasi rentang dua tahun itu potensi kerugian konsumen dengan adanya kenaikan harga Migor akibat sentimen tersebut mencapai Rp 457 miliar. Kerugian masyarakat ini akan terus meningkat jika harga minyak goreng naik sebagai akibat upaya pelaku usaha yang membatasi akses atau penjualan minyak goreng kepada masyarakat.
Untuk itu, KPPU menyarankan pemerintah melalui Kemendag mengeluarkan regulasi yang isinya adalah melaksanakan kewajiban supaya membayar pelaku usaha yang telah selesai diversifikasi sesuai Permendag nomor 3 tahun 2022. Persoalan ini patut menjadi prioritas pemerintah guna menghindari kerugian atau dampak yang lebih luas yang disebabkan oleh salah satu komoditas kebutuhan masyarakat (minyak goreng).
Komentar Via Facebook :