Berita / Sumatera /
Keputusan Rektor Unilak Dinilai Cacat Hukum Soal DO Mahasiswa
Pekanbaru, Elaeis.co - Badan Hukum (BAHU) NasDem Riau menilai keputusan rektor Universitas Lancang Kuning (Unilak), Junaidi yang memberhentikan 3 mahasiswanya alias Drop Out (DO) cacat akan hukum. Hal ini disampaikan langsung oleh Torri Akexander TW yang mengetuai Bahu NasDem Riau tersebut.
"Kalau memang keputusan itu diambil berdasarkan rekomendasi dari putusan Panggilan Sidang dari Badan Hukum Etik (BHE) Unilak, maka tidak jelas dasar acuannya. Tentu dapat diajukan keberatan oleh mahasiswa karena rekomendasi BHE itu tidak bersifat final dan mengikat. Apalagi setelah diketahui bahwa di dalam SK Rektor hanya mengacu kepada rekomendasi BHE dan tidak disebutkan dasar hukum apa yang digunakan dalam menentukan pelanggarannya," kata Torri, Jumat (12/3).
Torri menggelar jumpa pers didampingi Chandra Ade Putra selaku Ketua Tim Advokasi BAHU NasDem Riau, Sekretaris DPW M Kharis Yudha, Wakil Ketua Bidang Politik DPW Rahmad Rishadi Sinaga, Wakil Ketua Bidang Non-litigasi David Marhtin Lutter, dan Ketua Tim Advokasi Chandra Ade Putra Simanjuntak.
Menurut Torri, mahasiswa - mahasiswa tersebut tidak juga menerima hasil atau risalah rekomendasi BHE itu. Maka dapat diduga pertimbangan rektor hanya berdasarkan asumsi dan hanya karena ketidaksenangan terhadap individu saja sehingga patut diduga bahwa SK tersebut adalah keputusan yang cacat hukum. Bahkan berpotensi melawan hukum.
"Berarti rektor telah melakukan tindakan yang tidak objektif dan sewenang-wenang," timpal Chandra Ade Putra.
Chandra mengatakan, jika salah satu permasalahannya adalah terkait kritik yang disampaikan oleh para mahasiswa itu, menurutnya penyampaian pendapat yang dilakukan mahasiswa adalah suatu hal yang wajar dan dilindungi undang-undang. Apalagi mahasiswa bersikap kritis hanya menuntut transparansi terkait kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan Rektorat.
"Kan hanya tinggal dijawab oleh pihak rektorat melalui data dan dokumen yang jelas, apabila jawaban itu diberikan maka tidak akan terjadi lagi demonstrasi tersebut karena tuntutan mahasiswa telah diakomodir," bebernya.
Sementara, lantaran tuntutan mahasiswa tidak pernah digubris oleh pihak rektorat, mahasiswa tersebut melayangkan laporan dan tuntutannya terkait kebijakan-kebijakan Rektor yang tidak transparan tersebut kepada LLDIKTI X di Padang Sumatera Barat.
Hak ini juga menjadi dasar BHE menganggap ketiga mahasiswa tersebut telah melanggar kode etik karena telah sehingga keluarlah keputusan rektor itu.
Seharusnya, lanjut dia, hal ini bukan malah dijadikan alasan oleh Rektor untuk memberhentikan ketiga mahasiswa itu. Apabila mahasiswa merasa keberatan terhadap keputusan Rektor tersebut tentu saja mahasiswa memiliki hak untuk melayangkan keberatan.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan juga dapat dilakukan upaya hukum terhadap keputusan tersebut. Karena, hal itu dinilai telah menimbulkan kerugian bagi mahasiswa apalagi alasan BHE tersebut adalah merupakan kewajiban bagi pihak rektorat dan universitas sendiri untuk mendidik, memperbaiki, dan meluruskan etika kemahasiswaan dalam kehidupan berkampus.
"Yaitu dengan cara memberikan pengajaran dan bimbingan agar kelak mahasiswa tersebut dapat menjadi manusia-manusia yang cakap dan berkualitas. Oleh sebab itu, SK Rektor tersebut telah mengesampingkan etika dan norma-norma yang selama ini berlaku dan dunia pendidikan tinggi," paparnya.
Tanggapan Bahu Nasdem Riau tersebut berdasarkan keterangan tiga mahasiswa yang diberhentikan oleh rektor yakni George Tirta Prasetyo, Cep Permana Galih, Cornelius Laila yang didampingi Tim Penasehat hukumnya yaitu Syahidila Yuri, Ali Akbar Siregar, Muhajirin dkk saat berkunjung ke kantor Partai NasDem Riau, Kamis (11/03) kemarin.
Syahidila Yuri mengatakan ada tiga peristiwa yang berbeda yang mendasari terbitnya SK pemberhentian dari rektor Unilak. Pertama, SK rektor tersebut didasari dengan ketiga mahasiswa ini bersama rekan rekan mahasiswa lainnya memprotes dengan berunjuk rasa kebijakan rektor yang menjual kiloan skripsi mahasiswa.
Bahkan dia mengatakan, pada waktu hampir bersamaan juga melakukan penebangan pohon pelindung kampus lalu menjualnya tanpa ada transparansi uangnya kemana. Kemudian rektor menciptakan dualisme BEM UNILAK secara otoriter. Dan terakhir adalah aksi mahasiswa yang melaporkan tindakan rektor menjual skripsi ke LLDikti Wilayah X.
"Tindakan rektor yang menciptakan dualisme organisasi BEM sempat menimbulkan konflik antar mahasiswa, namun hal itu tidak ada pihak yang berwenang menindak maupun menegur rektor atas kelakuan sewenang wenangnya, kemudian ketiga mahasiswa tersebut juga melakukan tindakan pelaporan kepada LLDIKTI X di Padang Sumatera Barat bersama belasan rekan mahasiswa lainnya," katanya.
Setelah para mahasiswa itu pulang dari Padang, ketiga mahasiswa mendapatkan Panggilan Sidang dari Badan Hukum Etik (BHE) Unilak. Namun anehnya dari 14 orang yang pergi ke Padang, hanya tiga kliennya yang dipanggil sidang BHE bahkan hingga kedua kali pemanggilan. Hal ini dilakukan lantaran ketiganya yakin tidak ada tindakan yang bertentangan dengan etik mahasiswa.
"Panggilan BHE ini atas laporan oknum dosen yang mengatasnamakan Ikatan Dosen Yayasan yang diduga kapasitasnya tidak jelas. Karena ketiga mahasiswa tersebut tidak datang, lalu BHE mengeluarkan rekomendasi kepada rektor dan berdasarkan rekomendasi tersebut rektor mengeluarkan SK memberhentikan (DO) terhadap tiga mahasiswa dimaksud, anehnya didalam SK rektor tersebut tidak disebutkan apa pasal yang dilanggar mahasiswa, bahkan didalam surat panggilan BHE juga tidak disebutkan pelanggaran etik apa yang dilakukan mahasiswa," tuturnya.
Selain diberhentikan, tiga mahasiswa itu juga dilaporkan oleh sang rektor ke Polresta Pekanbaru dengan tuduhan pengrusakan yang ditaksir senilai Rp.10.000.000.
Padahal dari fakta yang ada di lapangan, kata dia, hanya berupa kerusakan roda kursi duduk tamu dan engsel pintu ruangan rektor akibat unjuk rasa yang terjadi dan telah pula diganti dengan barang yang baru oleh mahasiswa tersebut.
Pihak kepolisian pasti sangat objektif dan hati-hati serta bersikap bijak melihat permasalahan ini, terlebih hal ini terjadi saat unjuk rasa. Sehingga tentunya pihak kepolisian akan lebih mengedepankan asas restorative justice dalam penanganan perkara berdasarkan peraturan Kapolri yang baru.
"Apalagi laporan ke kepolisian tersebut hanya dilaporkan oleh pribadi rektor sendiri karena memiliki masalah secara pribadi terhadap ketiga mahasiwa tersebut," tandasnya.
Komentar Via Facebook :