https://www.elaeis.co

Berita / Lingkungan /

Klaim Absurd Soal Deforestasi

Klaim Absurd Soal Deforestasi

Team Leader Forest Campaigner Greenpeace Indonesia (GI), Arie Rompas, saat menjadi pemateri dalam sebuah webinar beberapa waktu lalu. foto: tangkapan layar


Jakarta, elaeis.co - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi lembaga negara yang dianggap paling bertanggungjawab atas hilangnya tutupan hutan yang terjadi selama ini. 
 
Pemberian izin pelepasan kawasan hutan yang serampangan dan pembiaran, menjadi pemicu utama buruknya tata kelola hutan yang ada. 

"Dia punya kontribusi besar lantaran dia yang memberikan izin dan melakukan membiarkan. Ini menjadi salah satu penyebab buruknya tatakelola hutan kita. Dan belakangan malah ada kesan  menghambat upaya perbaikan tata kelola itu. Lembaga ini juga tertutup. Selama ini kita minta data ke KLHK enggak dikasi, kelihatan ada yang ditutupi," kata Team Leader Forest Campaigner Greenpeace Indonesia (GI), Arie Rompas, kepada elaeis.co, kemarin siang. 

Baca juga: Ratusan Perusahaan ISPO-RSPO Disebut Punya Kebun Sawit di Kawasan Hutan 

Ulah pembiaran tadi kata lelaki 41 tahun ini, khusus pada aktifitas sawit, dari 2001-2009, sudah 870 ribu hektar hutan primer di dalam kawasan hutan yang dikonversi menjadi kebun sawit. Gara-gara konversi ini, 100,4 juta ton atau setara dengan 382 juta ton emisi C02, lepas. 

Lalu, hutan alam yang dikonversi jadi konsesi sawit mencapai 278 ribu hektar. Gara-gara konsesi ini, karbon yang lepas mencapai 34,7 juta ton atau setara dengan 127 juta ton emisi CO2.

Sebahagian dari hutan alam yang dikonversi tadi rupanya habitat harimau, orangutan, gajah dan binatang lain pula. 

"Habitat orang utan yang hilang di Sumatera dan Kalimantan mencapai 183.687 hektar. Lalu ada pula habitat harimau di Sumatera seluas 136 ribu hektar, habitat gajah sumatera dan kalimantan  5.989 hektar dan habitat gabungan harimau-gajah 12.515 hektar," ayah 2 anak ini merinci. 
 
"Jadi jangan heran kalau situasi ini telah membikin konflik manusia dan satwa liar menjadi tinggi," tambahnya.

Saat ini kata Arie, masih sangat luas konsesi perkebunan kelapa sawit yang belum dikonversi menjadi kebun. 

"Temuan kami di Papua misalnya, masih ada sekitar 700 ribu hektar konsesi yang bertutupan hutan alam yang belum dikonversi. Jadi enggak ada jaminan tutupan hutan kita akan bertahan," terangnya.

Mestinya kata Arie, tutupan hutan yang masih ada itu, dipertahankan. Evaluasi izin-izin yang ada, mana izin yang hutannya belum dikonversi, izin itu dicabut saja. 

Beberapa perusahaan besar kata Arie malah sudah punya Komitmen No Deforestation, No Peat, and No Exploitation (NDPE).

Itu artinya, secara voluntery perusahaan besar itu sudah punya kesadaran, mengefektifkan lahan yang sudah ada akan lebih ekenomis ketimbang membuka lahan baru. Apalagi land bank nya sudah cukup pula. 

"Kesadaran seperti ini yang harus disokong oleh pemerintah, jangan malah kasi izin terus," Arie kesal. 

Buktinya kata Arie, Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit sudah ada, setahun kemudian keluar pula Inpres nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Tapi ekspansi masih terus berjalan dan bahkan di 2019 meningkat. Alhasil, moratorium digadang-gadang, tiap 6 bulan titik tutupan hutan dirubah hingga luasannya terus mengecil. Ini kelihatan dari peta indikatif. 

"Makanya saya bilang akal-akalan saja. Klaim pemerintah menurunkan deforestasi itu, jadinya klaim absurd (tidak masuk akal). Memang, bukan dia pelaku deforestasi, tapi perusahaan yang dikasi izin," ujarnya. 

Lantaran aroma akal-akalan kayak begini jugalah kata Arie, pihaknya bersama organisasi masyarakat sipil lainnya sudah membikin rencana menggugatkan KLHK terkait tanggungjawabnya itu. 



 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :