https://www.elaeis.co

Berita / Internasional /

Lawan Aturan Deforestasi Uni Eropa, Indonesia-Malaysia Ajak Thailand

Lawan Aturan Deforestasi Uni Eropa, Indonesia-Malaysia Ajak Thailand

Ilustrasi - jalan menuju perkebunan kelapa sawit di Provinsi Bengkulu belum dibangun pemerintah. (Istimewa)


Jakarta, elaeis.co - Malaysia dan Indonesia ingin mengajak negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk melawan aturan lingkungan hidup dan deforestasi Uni Eropa (UE) yang akan berlaku pada akhir tahun 2024.

Perlawanan dilakukan lantaran kedua negara khawatir peraturan tersebut akan berdampak buruk terhadap ekspor pertanian ke UE.

"PM Thailand Srettha Thavisin telah menjamin bahwa Thailand akan ikut dan bekerja sama dengan Malaysia dan Indonesia. Semoga negara-negara lain juga seperti itu," kata PM Malaysia Anwar Ibrahim dilansir dari DW, Kamis (30/11).

Kekhawatiran Indonesia dan Malaysia terhadap aturan UE bukan tanpa dasar. Sebab kedua negara ini menyumbang sekitar 85% produksi minyak sawit global.

Menurut Indonesia dan Malaysia, Peraturan Bebas Deforestasi UE bersifat diskriminatif dan memberikan hukuman yang tidak adil kepada petani skala kecil yang akan kesulitan memenuhi tuntutan birokrasi yang ditetapkan oleh Brussel.

Malaysia dan Indonesia juga telah secara independen mengajukan pengaduan ke Organisasi Perdagangan Dunia, WTO.

Apalagi, peraturan UE tidak hanya melarang minyak sawit, namun juga melarang impor sapi, kakao, kopi, karet, kedelai, dan barang-barang kayu jika komoditi itu diproduksi di lahan yang diketahui mengalami deforestasi setelah 31 Desember 2020.

Aturan UE itu akan menuntut produsen membuktikan bahwa produk mereka tidak ditanam di lahan yang mengalami deforestasi. Bahkan, berdasarkan arahan UE yang baru, perusahaan lokal harus menyediakan pemetaan ekstensif atas seluruh rantai pasokan mereka, termasuk data geolokasi.

 

Meskipun Jakarta menuduh Brussel melakukan imperialisme peraturan dan Malaysia mengeluhkan apartheid pertanian, negara-negara Asia Tenggara lainnya telah mengambil pendekatan yang lebih diplomatis dan berupaya memahami arahan UE melalui diskusi tatap muka dengan para pejabat UE.

Menurut ketentuan UE, mekanisme kepatuhan ini akan diwajibkan bagi perusahaan besar mulai Desember 2024, dan beberapa bulan kemudian bagi perusahaan kecil.

"Masalah persepsi sangat penting. Jika niat UE dianggap tidak sah, kebijakan mungkin akan ditanggapi dengan skeptisisme, dipandang sebagai imperialisme peraturan atau proteksionisme terselubung," kata Ketua Komite Perdagangan Internasional di Parlemen Eropa, Bernd Lange.

Thailand merupakan produsen minyak sawit terbesar ketiga di dunia, setelah Indonesia dan Malaysia. Negara ini juga merupakan pengekspor produk lain yang signifikan, seperti kayu, coklat dan karet, yang akan terkena dampak peraturan baru UE.

Thailand juga merupakan produsen karet terbesar dunia, dan ekspor barang-barang tersebut ke UE bernilai €1,5 miliar pada tahun lalu.

Bridget Welsh, peneliti senior di University of Nottingham Asia Research Institute Malaysia menilai bahwa peluang Thailand untuk bergabung dengan kampanye Indonesia dan Malaysia cukup besar karena prihatin dengan isu itu dan semakin menjauhi UE dalam urusan politik internasional.

Namun, seorang pejabat pemerintah Thailand yang tidak ingin disebutkan namanya karena tidak diizinkan untuk membicarakan masalah ini, mengatakan bahwa kecil kemungkinan Bangkok akan bergabung dengan Malaysia dan Indonesia dalam tuntutan hukum apa pun terhadap Brussels. Terutama karena Thailand tahun ini ingin memulai kembali perundingan yang terhenti mengenai perjanjian perdagangan bebas dengan UE.

Menurut seorang pejabat Komisi Eropa yang juga tidak mau disebutkan namanya bahwa UE akan meningkatkan komitmennya secara signifikan untuk memastikan aturan baru yang diterapkan secara efektif sambil bekerja sama dengan negara-negara produsen.

Pejabat tersebut juga mengatakan, inisiatif baru terkait masalah ini juga akan diluncurkan pada COP28, yang akan dimulai di Uni Emirat Arab pada Kamis (30/11).
 

Komentar Via Facebook :